Ubah Kebiasaan di Akhir Ramadhan

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agung Sasongko

Kamis 30 Jun 2016 14:58 WIB

Wakil Ketua Umum Asbihu NU, KH Hafidz Taftazani Foto: ROL/Agung Sasongko Wakil Ketua Umum Asbihu NU, KH Hafidz Taftazani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang akhir Ramadhan, ada suasana yang berbeda dan bertolak belakang yang terjadi di Indonesia dengan di tanah suci. Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Haji Umrah dan Inbound Indonesia (Asphurindo), KH. Hafidz Taftazanim menjabarkan suasana yang saling bertentangan itu sesuai dengan pengalaman pribadinya merasakan akhir Ramadhan di tanah suci hampir setiap tahun.

Sejak pertama kali menginjak Tanah Haram, Makkah pada 1975 di usia 21 tahun, hingga kini memimpin sebuah travel haji umrah dan asosiasi, ia tidak merasakan ada perubahan dalam menjelang akhir Ramadhan. Kalau di Indonesia Ramadhan ramai dan meriah itu di 10 hari pertama. Bahkan beberapa hari jelang Idul Fitri seperti sekarang, masjid di Indonesia jamaahnya semakin berkurang.

Dan jelang lebaran bahkan suasana Ramadhan seolah sudah hilang di masyarakat, berganti dengan suasana lebaran dan mudik. "Kebiasaan ini yang harus diubah," kata alumnus Universitas Ummul Qura’ Makkah ini. Hal ini berbeda dengan di Makkah dan Madinah.

Disana dari awal Ramadhan sampai pertengahan Ramadhan, imam masjid masih mengimami secara biasa. Tapi ketika memasuki pertengahan hingga akhir Ramadhan, Imam masjid saat itu sudah tidak turun lagi. Karena ibadah shalat berjamaah mulai dari isya, hingga tarawih dilanjutkan langsung hingga qiyamul lail berjamaah.

“Semakin 10 hari terakhir hingga di malam ganjil berbondong bondong orang memenuhi masjid,” kata dia.

Sehingga masjid di malam akhir-akhir Ramadhan di sana, aktivitas berjamaah tidak ada selesainya.  Terlebih, jelasnya ketika di malam-malam ganjil. Muslim dari berbagai negara membludak dan shalat berjamaah tidak berhenti hingga sahur.

Aktivitas ini berakhir ketika memasuki shalat shubuh. Usai shalat shubuh, adalah waktu istirahat sampai dhuhur. Di siang hari hampir-hampir tidak ada aktivitas, dan cenderung sepi. Dan mulai kembali ada aktivitas sore memulai persiapan jelang berbuka.

Hampir setiap muslim yang tinggal di Makkah dan Madinah benar-benar mengimplementasikan puasa adalah bulan keutamaan. Di malam hari full aktivitas ibadah dan bekerja.

Kondisi yang sama juga ia rasakan ketika berbuka puasa di Masjidil Haram. Ia mengatakan semua orang yang datang ke Masjidil Haram sudah tidak memikirkan apa yang ia makan, atau apa makanan berbuka.

Sebab mereka sudah mendapatkan lapak-lapak untuk tempat berbuka yang telah disediakan menu makanan lengkap. Jadi bukan orang itu mencari tapi dipanggil oleh para pemilik atau penyedia takjil di Masjidil Haram. “Disana berebut orang untuk memberikan kebaikan-kebaikan,” kata dia.

Sehingga suasananya betul betul sangat syahdu dan khususk hanya untuk ibadah. Dan yang paling membuat ia berkesan adalah orang orang di Makkah dan Madinah, semua berlomba-lomba untuk memberikan yang terbaik. Mulai dari ibadah, bekerja hingga berbagi kepada orang lain seperti iftar atau makanan berbuka puasa.

Mereka mendasari dan mengimplementasikan Ramadhan sebagai bulan berkah, bulan dilipat gandakan pahala, bulan ibadah, bulan berbagai dan berbagai keutamaan lain dari Ramadhan. Sehingga wajar banyak umat Islam berlomba-lomba berumrah untuk merasakan kesahduan ibadah Ramadhan di tanah suci

Umrah di Ramadhan itu sekaligus mengharapkan keutamaan pahalanya sama dengan haji dan umrah bersama Rasulullah. “Jadi di akhir Ramadhan, Masjidil Haram itu padatnya sudah hampir sama dengan musim haji,” ujar dia.

Inilah menurut dia, suasana yang bertolak belakang antara Indonesia dan tanah suci, yang seharusnya menjadi cerminan umat Islam di tanah air. Dimana menjelang berakhirnya Ramadhan suasana khusuk dan kesyahduan itu hilang berganti dengan perhatian lebaran dan mudik menjelang Idul Fitri.