Tradisi Santri Inspirasi Puisi Religius (bagian 1)

Red: Irwan Kelana

Kamis 30 Jun 2016 11:33 WIB

Diskusi dalam Mimbar Puisi Ramadhan di  Rumah Seni Asnur  Depok, Jawa Barat, Ahad (26/6)/2016). Foto: Dok Asnur Diskusi dalam Mimbar Puisi Ramadhan di Rumah Seni Asnur Depok, Jawa Barat, Ahad (26/6)/2016).

REPUBLIKA.CO.ID, DEPOK -- Mimbar Puisi Ramadhan digelar di Rumah Seni Asnur Depok,  Jawa Barat, Ahad (26/6/2016), mulai  pukul 16.00 WIB- pukul 24.00 WIB. Acara tersebut bertujuan  menjalin silaturahim sesama penyair dan turut menghidupkan kembali semangat menulis karya sastra yang religius sebagai usaha pencerahan kepada masyarakat.

Mimbar Puisi Ramadhan dirangkai dengan berbagai  acara, antara lain diskusi dengan tema “Sastra dan Islam” dengan pembicara Sutardji Calzoum Bachri, Prof Dr  Abdul Hadi WM, Ahmadun Yosi Herfanda, Kurni Effendia, dipandu oleh Mahrus Prihany kemudian dilanjutkan dengan buka puasa bersama. Mimbar Puisi Ramadhan sekaligus memeriahkan milad ke-70 Abdul Hadi WM  dan milad  ke-75 Sutardji Calzoum Bachri.

Dalam diskusinya Prof Abdul WM menekankan kekuatan puisi religius harus diperkuat oleh akar kebudayaan bangsa. Sedangkan Sutardji Calzoum Bachri risau terhadap apresiasi pemerintah dan masyarakat yang semakin lama semakin tidak memiliki apresiasi kepada sastra.

 

Sutardji mengaku, pada eranya perhatian pemerintah dan masyarakat sangat tinggi pada puisi. Ia mencontohkan,  pada saat pergelarannya di Taman Ismail Marzuki  (TIM) Jakarta tahun 1970-an tidak hanya diliput oleh semua media masa, tetapi spanduk acara berkibar di mana-mana. “Bahkan ketika saya menikahpun,  semua media memuat berita tersebut,” tutur Sutardji.

 

Sutardji menegaskan, bangsa yang tidak mempunyai apresiasi terhadap sastra, maka sastra dan penyair menjadi tidak berarti.  “Jangankan  apresiasi pada penyair, bahkan seandainyapun 100 nabi diturunkan di sebuah negeri yang tidak memliki apresiasi pada nabi tersebut, maka keberadaan nabi jadi tak berarti,” tegas Sutardji Calzoum Bachri.

Seirama dengan itu, Ahmadun Yosi Herfanda juga sepakat bahwa puisi mestinya harus mengakar pada akar kebudayaan Indonesia. Ia menyebut syair-syair Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga dapat menjadi pijakan religiusitas dalam mengembangkan sastra Islam. “Penyair yang lahir dan besar di lingkungan tradisi yang puitis dan religius itu akan terinspirasi dan termotivasi untuk menulis puisi-puisi religius,” katanya.

Sayangnya, tambah Ahmadun, tradisi-tradisi santri yang banyak menampilkan syair-syair Walisongo itu, seperti puji-pujian di mushalla, tradisi imtikhan di sekolah madrasah, dan permainan anak-anak sambil menyanyikan tembang “Ilir-Ilir” sudah punah. “Penyair-penyair muda saat ini lebih diasuh oleh internet dan smartphone, serta lingkungan perkotaan yang sekuler, sehingga puisi-puisi mereka juga cenderung sekuler,” katanya.

Sedangkan Kurnia Effendi lebih banyak mengungkapkan proses berkaryanya yang akhirnya memang tertarik kepada sastra religius, bermula ketika Asma Nadia meminta karyanya untuk jauh dari sastra liberal yang bertabrakan dengan etika Islam.

Terpopuler