Suka Duka Ramadhan Sambil Kuliah di AS dan Eropa

Red: Agung Sasongko

Rabu 29 Jun 2016 13:48 WIB

CEO EURO Management, Bimo Sasongko CEO EURO Management, Bimo Sasongko

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengalaman berpuasa saat berkuliah di negeri orang telah memberikan kesan berbeda bagi CEO Euro Management, Bimo Sasongko. Pemimpin lembaga pendidikan bahasa dan misi beasiswa ke luar negeri bagi pelajar ini, merupakan salah satu penerima beasiswa Habibie pada 1991.

Sebagai penerima beasiswa Habibie, Bimo mendapatkan kesempatan berkuliah di North Carolina State University, Amerika Serikat pada 1991 sampai 1996. Dan program magister di Jerman pada 2001 hingga 2002. Salah satu yang paling berkesan adalah ketika menjalankan ibadah puasa Ramadhan di AS dan Jerman.

Berbeda dengan di Indonesia, suasana Ramadhan di AS tentu tidak terlalu terasa seperti di tanah air. Hal itu juga ia rasakan ketika di Jerman. Ketika di AS pada era 1990an awal, publikasi media terhadap Islam masih sangat minim sehingga perhatian publik AS terhadap Ramadhan saat itu juga masih minim.

Dari segi waktu, AS dan Jerman tidak berbeda jauh lama waktu berpuasa dengan Indonesia. Namun yang membedakan ketika itu waktu-waktu ia kuliah dan berpuasa masih memasuki musim dingin atau bersuhu dingin.

Namun Bimo merasakan kehangatan bulan Ramadhan, ketika berkumpul berbuka puasa bersama mahasiswa muslim dari seluruh dunia di masjid sekitar kampus Nort Carolina State University. “Di kampus saya saat itu sudah ada masjidnya tapi dikelola oleh warga Timur Tengah,” ujar Bimo yang juga Sekjen Ikatan Alumni Program Habibie ini.

Sebagai Muslim Asia Tenggara, Muslim Indonesia disambut baik bergabung dalam berbagai kegiatan acara. Bahkan ia pun sempat dipercaya menjadi pengurus di Muslim Association di sana. “Jadi saya sempat ikut gabung untuk acara berbuka, menyiapkan makanan dan acara keislaman lain, diluar kesibukan kuliah,” kata dia.

Kesan yang mendalam saat itu, sebagai sesama Muslim berbuka, makan berjejer dengan suhu udara yang masih cukup dingin. Namun berpuasa sambil berkuliah di luar negeri bukan tanpa hambatan. Saat di AS, terkadang Bimo harus melewatkan jam-jam berbuka dan shalat maghrib justru di kelas.

Karena kampus tidak peduli dengan aktivitas keagamaan. Sampai akhirnya ia menyempatkan keluar membatalkan puasa dengan air mineral, dan masuk lagi ke kelas. Sehingga makan dan berbuka puasa dilakukan setelah kelas. Parahnya bila kelas berlanjut, memaksanya membawa sedikit snack atau coklat untuk pengganjal setelah waktu berbuka.

“Itu bahkan bisa terjadi berkali-kali,” ujar dia. Terlebih ketika di North Carolina saat itu, di bulan Ramadhan saat Februari adalah puncak-puncaknya ujian. Karena jelang Mei dan Juni sudah masuk waktu libur jelang musim panas.

 

Hal itu juga ia rasakan ketika beasiswa program magister di Jerman pada 2001 hingga 2002. Saat itu bulan puasa terjadi di November pas saat musim dingin. Di tengah suasana dingin, kondisi tubuh mudah lapar. Kejadian yang sama sering ia alami, saat Ramadhan itu jam-jamnya aktif kuliah sehingga kadang buka puasa dilakukan di kelas.

 

“Namun enaknya buka puasa di sana hampir semua gratis,” kata dia. Bahkan Bimo sempat tidak pernah mengeluarkan uang untuk membeli takjil berbuka. Sebab buka puasanya di masjid. dan pulang dari masjid mendapatkan bungkusan makanan untuk sahur.

 

Kalau akhirnya berbuka di luar masjid, jika membeli makanan di toko Islam untuk berbuka, seringkali  penjual menggratiskan makanan tersebut. “Seperti kita beli kebab di jam maghrib waktu berbuka, penjual toko yang muslim tahu kita mau berbuka, maka kita mendapat gratis,” ujar dia.

 

 Jadi hampir satu bulan mahasiswa Indonesia di sana itu bisa menjaga pengeluaran. Namun bedanya saat saya di Jerman minim kegiatan Islam karena aktivitas full kuliah. Bahkan shalat taraweh pun dijalankan sendiri.

 

Sesama mahasiswa Indonesia di Jerman, kita bergabung semua pada waktu buka rata-rata. Enaknya itu, waktu berkumpul bersama. Terkadang dalam satu kota cuma ada 50an orang, tapi jarang bertemu. Momentum puasa dan berbuka bersama, justru bisa mempertemukan mahasiswa muslim Indonesia setiap hari. Terkadang ada beberapa kegiatan atas undangan keluarga-keluarga Indonesia yang menetap di sana.

 

Nah pelajaran selama studi di AS dan Eropa itu juga yang ia ambil ketika memimpin lembaga studi bahasa dan misi beasiswa ke luar negeri, Euro Management saat ini. Bimo berharap generasi muda muslim Indonesia bisa semakin maju, mampu berbahasa asing hingga mengambil studi ke luar negeri.

 

Inilah tujuan lembaga Euro Management yang ia pimpin, mencetak satu juta Habibie, dengan mendorong pelajar mendapatkan beasiswa ke luar negeri. “Saat ini sudah hampir 2000 orang siswa yang dikirim Euro Management ke luar negeri. Dan mayoritas mereka adalah muslim,” kata dia.

 

Kenapa, karena sebagai negara muslim terbesar sudah menjadi tanggung jawab meningkatkan harkat martabat generasi muda muslim melalui beasiswa luar negeri. Dan tentu sebelum mereka berangkat, mereka perlu motivasi dan member pesan ke mereka sebagai wakil bangsa Indonesia dan umat Islam di Indonesia.

 

Sehingga dengan kondisi gambaran Islam saat ini, tercermin Islam khususnya di Indonesia yang lebih ramah, santun dan toleran. Ini menjadi beban berat bagi mahasiswa muslim Indonesia sekarang bila dibandingkan pada era 90 dahulu.

 

Sekarang jatidiri seorang muslim di AS dan Amerika itu benar-benar ditest. Kalau pelajar Indonesia memiliki karakter baik, motivasi tinggi, santu dan toleran, itu menjadi gambaran Indonesia di luar negeri. Karena banyak orang sekarang yang akhirnya malu-malu menunjukkan jatidirinya sebagai muslim di negara barat, lantaran gambaran buruk terhadap Islam selama ini.

 

Karena itu, ia ingin pelajar-pelajar muslim Indonesia di luar negeri mereka tetap bangga dengan jatidiri keislaman mereka. Sekaligus bangga dengan keindonesiaan yang memiliki karakter lebih toleran dan santu ke semua orang. Sehingga bisa merubah paradigma bahwa Islam itu bukan kekerasan dan kejam seperti gambaran barat selama ini.