Ramadhan Momentum Menjaga Konsensus

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agung Sasongko

Selasa 21 Jun 2016 14:37 WIB

Rektor UMM, Fauzan Foto: umm.ac.id Rektor UMM, Fauzan

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Rektor Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Fauzan memiliki pengalaman kecil berpuasa Ramadhan yang menjadi pelajarannya hingga kini. Ia dibesarkan di wilayah pedesaan terpencil di Jawa Timur. Di  masa-masa kecilnya saat Ramadhan, Fauzan selalu menghabiskan waktu jelang berbuka bersama sahabatnya.

 “Waktu kecil saya hidup di kampung minus di Desa Jatirejo, Kediri, dan setiap puasa biasanya kami mencari buah-buahan di kebun, mangga dan sawo dikumpulkan,” kata dia. Buah-buahan itu sebagai menu takjil, berbuka puasa.

Semua buah-buahan itu ia kumpulkan dari kebun milik tetangga. Bagi banyak orang sikap ini dianggap tidak dibenarkan. Namun di kampungnya, ada konsensus bersama, tidak tertulis bila Ramadhan warga boleh mengambil buah-buahan kebun tetangga, tapi dengan syarat.

Hasil kebun tetangga boleh diambil siapapun hanya dengan memanjat, tanpa menggunakan alat dan hanya mengambil buah yang matang. “Tapi kalau buahnya belum masak, itu justru tidak boleh diambil,” kata dia. Konsensus itulah yang selalu dijaga dan dipatuhi warga kampung.

Konsensus tidak tertulis ini juga berlaku pada hal-hal kebaikan lain selama Ramadhan. Ia mengakui kesepakatan tidak tertulis selama Ramadhan seperti itu, sedikit banyak telah mengilhaminya saat ini. Kini ketika ia memimpin salah satu perguruan tinggi Muhammadiyah, konsensus puasa itu berusaha ia tanamkan di civitas akademika.

Sama seperti ketika pengalaman masa kecilnya, kepolosan saat berpuasa tidak lantas mengabaikannya untuk rajin beribadah dan melanggar aturan. Menurutnya, di lingkungan kampus, lebih banyak orang yang memiliki pemahaman keilmuan yang jauh lebih tinggi. Semakin tinggi ilmunya, maka kesadaran diri akan hal spiritual juga meningkat. Sehingga tidak perlu aturan tertulis untuk mengatur hal tertentu selama Ramadhan.

Ia menyontohkan ada kesepakatan yang tidak tertulis di lingkungan UMM, terutama ketika Ramadhan. Yakni kerelaan menghargai waktu. Sikap ini kental di lingkungan kampus UMM.  Walaupun karakter dan latar belakang orang di UMM cenderung heterogen, namun kita menyadari masing-masing memiliki nilai spiritual yang ingin meningkat.

Kesadaran akan waktu inilah yang membuat momen ramadhan menjadi saat yang tepat untuk kegiatan penting organisasi,  seperti konsolidasi dan peningkatan etos kerja. “Semangat beribadah yang ingin kita tingkatkan sama, walaupun beda setting,” kata dia.

Budaya yang berjalan di UMM hampir tidak pernah membedakan waktu kerja dan ibadah, karena yang ditanamkan bekerja itu ya ibadah. Karena kesadaran bersama itulah momen puasa Ramadhan seringkali waktu yang tepat bergerak bersama menyatukan kembali visi dan misi kampus.

Dan Alhamdulillah, ia meyakini hingga kini di UMM tidak ada yang pernah pelit waktu. Sehingga komitmen awal untuk menginfakkan waktu dan tenaganya kembali digairahkan. Ini berangkat dari konsep bekerja dan ibadah.

Dipilihnya Ramadhan sebagai konsensus yang tepat untuk konsolidasi, karena ia yakin Ramadhan memiliki keistimewaan. Berangkat dari pemahaman positif itulah maka , UMM menjadikan bulan puasa ini saat yang tepat untuk konsolidasi.