REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Bagi Prof Mudjia Rahardjo, ramadhan merupakan momentum muhasabah sekaligus waktu yang tepat untuk kembali meningkatkan kualitas keimanan. Rektor Universitas Universitas Islam Negeri (UIN) Maliki Malang mengaku peningkatan kualitas keimanan tersebut harus dilakukan secara menyeluruh baik pribadi, keluarga, komunitas universitas hingga tetangga terdekat.
Guru Besar Sosiologi ini, mengaku ada hal yang sulit diupayakan menjelang ramadhan hingga berakhirnya bulan ini. Kesulitan tersebut adaah memelihara semangat beribadah yang telah terbangun selama bulan Ramadhan. Baginya semarak Ramadhan harusnya juga dibarengi pula dengan spiritualitas yang meningkat setelahnya.
Tapi kenyataanya hal itu banyak tidak berlaku. “Bahkan untuk saya sendiri,” kata dia. Padahal ukuran seseorang lulus selama ramadhan adalah bagaimana aktivitas ibadah setelah Ramadhan. Ibadah semakin meningkat, nilai spiritual tetap terjaga dan perilaku buruk tidak dilakukan.
Sebagai salah satu pimpinan universitas Islam, ia mengaku seringkali memerankan diri sebagai seorang mubaligh selama Ramadhan. Dalam kesempatan tersebut hal ini lah yang selalu ia tekankan, menjaga semangat beribadah dan keimanan pascaRamadhan.
Hal itu pula yang ia tekankan di lingkungan kampus UIN Maliki Malang. Selama Ramadhan suasana kampus UIN Malang dipenuhi aktivitas kegiatan ramadhan, sesemarak mungkin. Maka, ia menegaskan hal ini juga harus terus diadakan setelah ramadhan. Seperti kegiatan aktivitas ibadah yang secara rutin dilakukan di masjid kampus.
Walaupun diakuinya ketika di awal pelaksanaan hal itu masih cukup sulit. Namun sebagai pemimpin kampus Islam komitmen ini harus ditunjukkan. “Ini komitmen saya menjaga semangat Ramadhan di kampus UIN Malang,” ujar dia.
Baginya komitmen pemimpin harus hadir sebagai contoh publik. Dan ia tidak henti-hentinya mengajak masyarakat kampus meningkatkan kualitas nilai agama dan ibadah tersebut. Sebab menurutnya umat Islam saat ini hakekatnya sangat haus terhadap nilai spiritualitas.
Ini terlihat ketika mendekati dan awal Ramadhan seperti saat ini, suasana penuh khidmat sudah mulai terasa. Namun karena tidak ada kesepaduan antara komitmen diri tersebutlah, maka kekhidmatan di awal tersebut mulai meredup di akhir ramadhan dan hilang seiring berakhirnya bulan suci ini.
Pria kelahiran Blitar, 57 tahun lalu ini membagi kiat, bagaimana komitmen ibadah Ramadhan ini tetap terjaga. Pertama selalu berupaya meningkatkan keimanan kepada Allah SWT. Yakni dengan cara mengubah sudut pandang, ibadah bukanlah kewajiban tapi kebutuhan. Apapun hukum ibadahnya, wajib atau sunnah, ibadah harus dipandang sebagai kebutuhan hidup.
Setelah itu hal kedua, menurutnya harus dibarengi dengan kesungguhan hati. Bersungguh-sungguh terus menambah kuantitas ibadah. “Karena semakin tinggi keimanan kita maka hambatan beribadah ini juga akan dirasa berat,” ujar dia. Di Ramadhan inilah menurutnya momentum untuk mengubah cara pandang dan memupuk komitmen tersebut.
Doktor ilmu Sosiologi ini bahkan selalu menargetkan peningkatan jumlah ibadah sunnah selama Ramadhan. Diantaranya qiyamul lail, infaq dan sadaqah dan memperbanyak silaturahim kepada sesama muslim. Dengan cara seperti ini, ia berharap semakin hari baik setelah ramadhan kualitas spiritual tetap terjaga. Termasuk menjaga kesehatan dari pola makan yang selama ramadhan diatur secara ketat.