Jangan Bepuasa Seperti Anak Kecil

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agung Sasongko

Rabu 15 Jun 2016 13:47 WIB

 Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat konferensi pers biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) reguler tahun 1437 H / 2016 M, di Jakarta, Selasa (17/5).(Republika/Darmawan) Foto: Republika/ Darmawan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin saat konferensi pers biaya penyelenggaraan ibadah haji (BPIH) reguler tahun 1437 H / 2016 M, di Jakarta, Selasa (17/5).(Republika/Darmawan)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Saat-saat Ramadhan di waktu kecil menyimpan memori tersendiri bagi Menteri Agama, Lukman Hakim Syaifuddin. Lukman masih ingat keseruan menahan lapar dan dahaga seharian bersama sahabat sebayanya. Baginya menahan lapar dan dahaga bersama teman sepertmainan membuat kegembiraan tersendiri di setiap Ramadhan tiba.

Politisi PPP ini mengenang ketika ia bersama teman sebayanya menghabiskan waktu bermain dan aktivitas menarik hingga jelang berbuka. Salah satu yang paling ia ingat adalah bermain di sore hingga jelang berbuka puasa.

“Waktu-waktu siang hingga sore ketika itu saya habiskan untuk bermain layangan,” ujar putra mantan menteri agama KH. Saifuddin Zuhri ini.

Berburu makanan takjil juga ia lakukan bersama temannya. Seringkali makanan dan minuman yang ia beli untuk berbuka sangat banyak. Tak ayal berbagai makanan pun ia bawa hingga saat berbuka. Dengan berbagai aktivitas bersama teman-teman, Lukman merasakan betul kenikmatan berpuasa saat itu.

Dengan menghabiskan waktu bersama teman-teman waktu terasa lebih cepat, sehingga lapar dan dahaga tidak terasa. "Tidak terasa saja tiba-tiba sudah mendekati waktu berbuka," kata dia.

Namun ketika beranjak dewasa, seiring pemahaman agama yang terus ia dapatkan di pondok pesantren. Ramadhan pun memberi makna yang berbeda. Saat itu ia berupaya agar nilai puasa semakin lebih baik setiap tahunnya. Tidak lagi sekedar menahan lapar dan dahaga seperti masa kecil dahulu.

Karena hakekat puasa Ramadhan adalah kemampuan mengendalikan diri dari hawa nafsu. Dan sejatinya manusia sadar tidak mudah mengendalikan diri dari hawa nafsu.

Ketika sangat emosi atau sangat marah dan sedih, seharusnya tidak berlebihan dalam mengekspresikan emosi. Terlebih bila ekspresi itu ditunjukkan dengan tindakan-tindakan yang tidak terpuji, seperti kekerasan dan lain sebagainya.

Selain itu, bagi dia Ramadhan bukanlah momentum untuk bermalas-malasan. Jangan sampai Ramadhan justru menurunkan aktivitas dan memperbanyak tidurnya.

Kalau masih seperti itu, seperti puasanya anak-anak. Apa yang dilakukan hanya untuk membunuh waktu, hingga berbuka puasa. Padahal waktu yang paling berharga justru Ramadhan.

Kondisi inilah yang ia lihat terjadi di muslim Indonesia. Puasa hanya dipahami tidak makan, minum dan tidak berhubungan seksual. Tapi menurunkan kualitas kinerja dan memperbanyak tidur. Menurutnya memahami Ramadhan sebatas ini merupakan tingkat pemahaman puasa yang sangat rendah.

“Kalau kita masih berpuasa seperti itu, tidak ada bedanya kita dengan anak-anak,” kata ujar alumni Pondok Pesantren Modern Gontor ini. Karena itu Ramadhan harusnya  diisi dengan ibadah yang lebih esensial nilainya. Karena hakekatnya ibadah puasa adalah kemampuan mengendalikan diri.

Hal ini pula yang selalu ia sampaikan ke seluruh instansi Kemenag. Bahwa kualitas puasa setiap tahun harus meningkat. Pengendalian diri itu, sangat penting, terutama bagi seorang muslim.

Seorang muslim dituntut bisa menempatkan diri menyesuaikan dengan nilai-nilai agama Islam, sesuai dengan nilai-nilai norma yang diakui di dalam masyarakat. Baik dari cara berpakaian, bertindak dan berucap, harus sesuai dengan nila-nilai masyarakat.

Setelah mampu mengendalikan diri, dibarengi dengan peningkatan kualitas peribadatan. Ia yakin keistimewaan bulan Ramadhan akan diraih. Karena itu ia berupaya agar berbagai aktivitas ibadah dilakukan dengan kualitas dan kuantitas yang terbaik.