REPUBLIKA.CO.ID, KHARTOUM -- Kekurangan air, fluktuasi pasokan listrik dan kelangkaan bahan bakar secara bersama merusak kegembiraan warga Ibu Kota Sudan, Khartoum dalam menyambut Ramadhan.
Ramadhan tahun ini hadir di tengah suasana panas. Meskipun sebelumnya ada janji dari Perusahaan Air Negara Bagian Khartoum mengenai musim panas yang bebas dari pemutusan pasokan, namun sebagian besar daerah Khartoum toh menderita kekurangan air.
Warga Kota Al-Azhary, salah satu permukiman terbesar di Ibu Kota Sudan, mengeluhkan kekurangan air yang menambah penderitaan mereka selama bulan suci Ramadhan. "Tak ada air sama sekali selama lebih dari lima hari. Kebanyakan warga di permukiman ini dipaksa membeli air," kata At-Tigani Adam, seorang warga lokal, baru-baru ini.
"Air sangat penting, terutama saat Ramadhan. Ini adalah penderitaan nyata dan pemerintah terkait harus turun tangan untuk menemukan penyelesaian cepat," ia menambahkan.
Anggota Dewan Legislatif Negara Bagian Khartoum mengecam Kementerian Prasarana dan Perusahaan Air di negara bagian tersebut serta menuduh kedua lembaga itu gagal memenuhi janji mereka. Krisis air tersebut berbarengan dengan fluktuasi pasokan listrik, terutama selama siang hari.
Kondisi itu meningkatkan penderitaan penduduk KHartoum, terutama di bawah temperatur tinggi pada awal Ramadhan. Temperatur tercatat 47 derajat Celsius. Pada penghujung Mei, Kementerian Sumber Daya Air dan Kelistrikan Sudan berjanji akan menghentikan program pemutusan pasukan sampai Juni.
Sebelumnya, Kementerian Kelistrikan Sudan menyatakan kementerian tersebut menghadapi defisit lima persen pasokan listrik selama jam sibuk. Dan pasokan listrik dari bendungan terbesar di Sudan, Merowe Dam, tidak cukup buat konsumsi warga di Ibu Kota Sudan saja, sekalipun pembangkit listrik tersebut beroperasi dengan kapasitas maksimal, 1.250 megawatt.
Agustus lalu, Sudan mengesahkan rencana menambah generator listrik panas dan air dengan tujuan utama menambah 3.155 megawatts listik sampai 2020 guna menjembatani jurang pasokan listrik.
Pada Desember lalu, Program Pembangunan PBB (UNDP) memperingatkan Sudan dapat menghadapi masalah produksi listrik jika negara tersebut tidak membuat proyek alternatif yang dapat menanggulangi berkurangnya curah hujan dan meningkatnya konsumsi.
Akses ke listrik tersedia buat 35 persen penduduk Sudan, sementara lebih dari 25 juta orang belum terhubung dengan pembangkit listrik nasional, kata UNDP. Selain krisis listrik dan air, Khartoum juga telah menyaksikan krisis bahan bakar selama beberapa hari.
Rratusan mobil berkerumun di berbagai stasiun pengisian bahan bakar. Sudan telah kehilangan dua pertiga produksi minyaknya, setelah pemisahan diri Sudan Selatan pada 2011.