Dari Istighfar ke Tobat

Red: Agung Sasongko

Selasa 14 Jun 2016 16:18 WIB

Istighfar/ilustrasi Foto: tumblr.com Istighfar/ilustrasi

Oleh: Nasarudin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sesungguhnya tobat itu adalah istighfar, tetapi tidak semua istighfar adalah tobat. Istighfar secara populer diartikan sebagai ungkapan spontanitas seorang hamba yang baru saja menyadari kesalahan dan kekhilafannya dengan mengucapkan kalimat istighfar, misalnya astagfirullahal'azim.

Sedangkan, tobat lebih dari sekadar itu. Tobat menuntut persyaratan lebih banyak. Dalam kitab Hadâiq al-Haqâiq karya Muhammad bin Abi Bakar bin Abd Kadir Syamsuddin Al-Razi (W 660 H), tobat disyaratkan dengan meninggalkan perbuatan dosa dan maksiat, mengucapkan kalimat istighfar, seraya menyesali perbuatan dosa dan maksiat itu, bertekad dalam hati untuk tidak akan mengulangi perbuatan itu lagi. 

Sebagian ulama menambahkan syarat meminta maaf kepada mereka yang telah dianiaya dan mengembalikan hak-hak mereka, mengganti perbuatan dosa dan maksiat itu dengan amal kabajikan, menghancurkan daging dan lemak yang tumbuh dalam dirinya yang berasal dari sumber yang haram dengan cara al-riyadhah, yakni menjalani latihan jasmani dan ruhani dalam menempuh berbagai tahapan menuju kedekatan diri kepada Allah.

Terakhir mujahadah, yakni perjuangan melawan dorongan nafsu amarahnya, tidak makan, minum, dan memakai pakaian kecuali yang bersumber dari yang halal, dan menyucikan hati dari sifat khianat, tipu daya, sombong, iri hati, dengki, panjang angan-angan, lupa terhadap kematian, dan yang semacamnya. Dengan demikian, tobat lebih berat daripada istighfar.

Secara lebih mikro, kualitas tobat mempunyai berbagai tingkatan. Kalangan sufi memandang tobat paling standar (1) ialah orang yang sadar dari lumpur maksiat kemudian meninggalkan seluruh kebiasaan buruk lamanya. Ia berjanji dan bertekat untuk sungguh-sungguh meninggalkan seluruh kebiasaan lamanya yang buruk. 

(2) Orang yang tidak sekadar meninggalkan dosa dan maksiat, tetapi sudah mengganti kelakuannya dengan amal-amal kebajikan. (3) Orang yang tidak saja memperbanyak amalan ibadah dan sosial, tetapi sudah masuk ke wilayah hakikat, sebagaimana layaknya kehidupan para arifin lainnya. (4) Orang yang sedetik melupakan Tuhannya sama dengan melakukan dosa besar. Ini yang paling tinggi dan paling sulit dicapai seorang hamba.

Imam al-Gazali dalam kitab Ihya' 'Ulum al-Din-nya tidak membahas panjang lebar tentang masalah istighfar, tetapi yang dibahas panjang lebar ialah masalah tobat. Bagi al-Gazali, istighfar hanya bagian kecil dari tobat. Ia sendiri membagi tingkatan tobat itu ke dalam tiga pembagian besar, yaitu tobatnya orang awam, tobatnya orang khawas, dan tobatnya orang khawas al-khawas, sebagaimana pernah diuraikan dalam pembahasan terdahulu. 

Rasulullah SAW pernah ditanya oleh istrinya, 'Aisyah RA, mengapa engkau menghabiskan waktu malammu untuk beribadah, bukankah engkau seorang nabi yang dijamin masuk surga oleh Allah SWT? Rasulullah menjawab singkat,

"Apakah aku tidak termasuk hamba yang bersyukur?" Dari sini bisa dipahami bahwa porsi makna tobat  tidak hanya sekadar pembersihan diri dari dosa dan maksiat, tetapi lebih banyak bermakna mendekatkan diri sedekat-dekatnya kepada Allah SWT (taqarrub ilallah).

Dalam perspektif tasawuf, para ulama menempatkan istighfar dan tobat sebagai makam atau anak tangga pertama dalam upaya mendekatkan diri kepada Allah SWT. Makam-makam berikutnya, seperti sabar, qanaah, faqir, zuhud, tawakal, ridha, mahabah, dan makrifah akan menyusul dengan sendirinya jika makam tobat sudah dituntaskan. 

Dengan kata lain, istighfar dan tobat adalah anak tangga yang harus dilalui seorang hamba. Siapa pun dan apa pun kedudukan dan status seseorang, termasuk Rasulullah SAW sendiri senantiasa menjalankan tobat. Bahkan, 'Aisyah juga meriwayatkan bahwa Rasulullah tidak pernah kurang 100 kali mengucapkan lafaz-lafaz istighfar. Istighfar dan tobat akan meringankan beban hidup seseorang. Wallahu a'lam.

Terpopuler