REPUBLIKA.CO.ID, PADANG -- Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Padang, Sumatra Barat, Duski Samad menyayangkan fenomena hura-hura di bulan puasa oleh sejumlah warga di daerah itu.
"Fenomena hura-hura itu terjadi pada acara berbuka puasa bersama, duduk berlama-lama di luar dan ibadah lainnya terkesampingkan," kata dia di Padang, Selasa (14/6).
Ia menyayangkan, masyarakat mengikuti budaya populis, yakni di luar konteks budaya yang sesungguhnya. "Buka bersama itu sebenarnya sebaiknya bersama keluarga. Sekarang malah menjadi semacam eksploitasi bisnis dan generasi muda masuk ke dalamnya," katanya.
Menurut dia, individu yang tidak tahu dan memahami esensi puasa yang sesungguhnya akan terseret dalam fenomena hura-hura tersebut atau mengikuti budaya kapitalis. Ia menegaskan, acara berbuka puasa jangan malah membuat umat meninggalkan ibadah shalat Maghrib, Isya hingga ibadah sunah Ramadhan, yakni shalat tarawih dan memilih menghabiskan waktu berkumpul di tempat-tempat makan.
Ia menilai fenomena itu terjadi karena adanya benturan dua budaya. Untuk mengubah budaya haruslah dengan budaya pula dan yang kuat akan menang. "Kami mengimbau masyarakat setempat kembali memaknai pesan-pesan ibadah sesungguhnya dan ramaikan masjid saat Ramadhan," ujarnya.
Terkait solusi dari permasalahan itu, dia menyampaikan masjid perlu berinisiasi membuat anak muda tertarik meramaikan masjid seperti acara buka bersama di masjid dan mereka turut serta menyiapkan takjil. "Kalau saat ini kan generasi tua lebih konvensional dan yang muda memiliki selera berbeda. Maka perlu inisiasi pengelola masjid untuk mengajak generasi muda," katanya.
Warga setempat Rohni (42 tahun) mengatakan, anak muda saat ini lebih suka berbuka puasa di luar dibandingkan rumah sendiri, padahal sehari-hari mereka telah beraktivitas di luar pula. "Untuk kegiatan berbuka pun lama, kadang pulangnya setelah shalat tarawih di masjid selesai," ujarnya.