Dikenal Nakal Saat Ramadhan di Masjid

Rep: Amri Amrullah/ Red: Agung Sasongko

Jumat 10 Jun 2016 10:19 WIB

Yusuf Mansur Foto: Republika/Agung Supriyanto Yusuf Mansur

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masa kecil ustaz Yusuf Mansur tidak berbeda dengan anak kebanyakan. Walaupun dibesarkan dari lingkungan pondok dan keluarga ulama Betawi, bukan berarti Yusuf Mansur kecil tidak seperti anak kebanyakan. Bahkan ia mengaku saat kecil dikenal sebagai anak nakal.

 

Dalam perbincangan ramah bersama Republika.co.id di kediamannya beberapa waktu yang lalu, Ustaz Yusuf Mansur menceritakan kenakalan-kenakalannya di masa kecil saat bulan Ramadhan. “Kecil kita bangor-bangor dikit dah, awalnya puasa ntar sampe pasar udah minum,” ujar pemimpin Pondok Pesantren Daarul Qur'an ini dengan logat Betawinya yang kental.

Bahkan Yusuf Mansur mengenang saat saat shalat tarawih bersama teman sebayanya. Kalau taraweh, misalnya nungguin imam ruku baru ikut shalat dan ruku. Ia juga mengaku sering iseng mengganggu anak lain saat sujud, “kita ganjel pakai kipas. Jadi pas bangun pantatnye keganjal kipas dan kesakitan, kita kabur,” kata dia.

Dan itu ia lakukan hampir setiap shalat tarawih di masjid dekat kediamannya. Kenakalan-kenalan itu menurutnya merupakan hal yang wajar. Karena yang ia ganggu bukan jamaah yang berusia dewasa, namun sesama anak-anak. Bahkan sang Kakek KH. Muhammad Mansur tidak pernah memarahinya.

“Dulu saya kecil nakal di masjid juga tidak dimarahi orang tua. Kata engkong dulu juga gak ape-ape. “yang penting jangan gue. Kalau gue, gue bagel (pukul) lu,” kata dia sambil tertawa. Jadi ya tidak ada yang berani. Nakal di masjidnya hanya ke sesama teman bukan jamaah yang dewasa.

Begitu pula saat berbuka puasa. Ia bercerita dahulu suasana berbuka puasa di masjid sangat berkesan. Ketika itu ada tradisi membawa makanan dari rumah ke masjid. Jadi nampannya dulu berbeda-beda, semua dari sumbangan warga dan menunya juga berbeda-beda.

Ada apem dan pastel. Tapi ia ingat betul nampan yang isinya ayam, selalu berada di dekat para ustaz. Ia sempat berfikir untuk mendekati nampan berisi ayam itu, ingin menjadi ustaz. Disitulah awal pertama niatannya menjadi ustaz. Suami dari Siti Maemunah ini juga bercerita serunya ketika kecil Ramadhan berbarengan dengan penyelenggaraan Piala Dunia.

Berbeda dengan saat ini, ketika itu bola ditayangkan jelang akhir waktu tarawih, bukan mendekati sahur seperti sekarang. Akibatnya mengaji bersama di sela rakaat tarawih harus ditiadakan, agar shalat tarawihnya dipercepat untuk nonton Piala Dunia.

Selain itu ia bersama temannya menggunakan waktu di sela antara shalat tarawih menuju witir, meninggalkan masjid. Tujuannya hanya untuk janjan bersama-sama. "Kita beli  mie bangka, siomay, mie ayam dan macem-macem." Ia mengaku masa-masa kecil di Ramadhan itu dirasakannya betul betul penuh nostalgia.

Ia bersyukur besar dari keluarga yang mendidiknya secara benar. Berkat izin Allah ia pun besar dan dewasa relatif tidak jauh dari didikan yang benar. Namun ada instrumen lain selain keluarga yang berpengaruh, yakni teman. Walaupun semasa kecil terkenal nakal, ia bersyukur besar sebagai santri. Artinya ia memiliki teman-teman pesantren yang akhlaknya terjaga hingga ia dewasa.

Dari pengalaman kecilnya inilah ustaz Yusuf Mansur mengambil pelajaran, biarkanlah anak-anak ramah dengan lingkungan masjid. "Jangan diusir dan dimarahi," kata dia. Karena dari kenangan kenakalannya di masjid itulah, membuat mereka rindu akan masjid dan suasana nostalgia beribadah di Ramadhan.