Kisah Pilu Migran Muslim Saat Ramadhan di Eropa

Rep: MGROL69/ Red: Andi Nur Aminah

Kamis 09 Jun 2016 12:27 WIB

Sejumlah migran tengah melaksanakan shalat di tempat pengungsian Foto: Reuters Sejumlah migran tengah melaksanakan shalat di tempat pengungsian

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ramadhan kali ini terasa berbeda untuk para migran di Eropa. Bulan suci menjadi saat yang mereka rindukan untuk berkumpul kembali dengan keluarga dan menghidangkan makanan-makanan lezat. 

Seperti dilansir Reuters, Khairallah Swaid seorang migran asal Suriah yang saat ini tinggal di Jerman mengatakan, di bulan suci ini ia selalu berdoa untuk dapat kembali bertemu dengan istrinya.

Istri Khairallah telah terdampar di sebuah pengungsian di Yunani. Ia merindukan masakan daging dan hidangan yang biasa disajikan sang istri selama bulan puasa.

Bagi ratusan ribu migran yang datang ke Eropa tahun lalu, banyak Muslim yang melarikan diri saat perang, konflik, dan kemiskinan. Mereka kebanyakan berasal dari Suriah, Afghanistan, dan Irak. Ramadhan kali ini menjadi lebih sulit untuk dilaksanakan tanpa sanak saudara.

Di Jerman, sebagian besar Muslim yang tinggal di tempat penampungan mengeluhkan makanan yang disajikan oleh katering yang dikontrak pemerintah setempat. Protes mereka semakin bertambah saat datangnya bulan suci Ramadhan.

Saat matahari terbenam di atas Selat Oresund yang memisahkan Denmark dan Swedia, warga Muslim dari tempat penampungan Hemmeslovs Herrgard menunggu dengan tidak sabar dalam antrean kantin.

Pukul 21.30 malam, setengah jam sebelum matahari terbenam, kantin mulai ramai oleh anak-anak yang bermain dan orang dewasa mengobrol sambil membawa piring dan cangkir mereka. Magnus Falk selaku manajer penampungan berusaha mengendalikan antrean agar tidak ricuh. “Mereka tidak puas dengan makanannya,” katanya.

Sekitar setengah dari 300 warga mengikuti Ramadhan. Mereka mendapatkan satu kantong roti dengan sosis, yoghurt, keju, dan selai untuk makan sahur. 

“Biasanya kami memasak makanan lezat khas Arab selama Ramadhan dan dimakan bersama dengan teman-teman, tetapi di sini kami sendirian. Walau begitu, kami tetap merayakan Ramadhan karena ini adalah tradisi Islam,” Kata Mohammed, migran yang datang bersama dengan keluarganya ke Swedia sembilan bulan yang lalu.

Semua migran yang terpaksa mengungsi merasa rindu untuk kembali ke rumah dengan situasi yang lebih aman. Mereka berharap dapat berkumpul dengan sanak saudara seperti dulu.

Terpopuler