Contoh Orang yang Percaya

Red: Agung Sasongko

Rabu 08 Jun 2016 21:00 WIB

 Warga melaksanakan ibadah Shalat Tarawih pertama Ramadhan 1437 H di kawasan Pasar Gembrong, Jakarta, Ahad (5/6). (Republika/Rakhmawaty La'lang) Foto: Republika/Rakhmawaty La'lang Warga melaksanakan ibadah Shalat Tarawih pertama Ramadhan 1437 H di kawasan Pasar Gembrong, Jakarta, Ahad (5/6). (Republika/Rakhmawaty La'lang)

Oleh: Nasarudin Umar, Imam Besar Masjid Istiqlal

 

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika Nabi Muhammad SAW menceritakan panjang lebar pengalaman perjalanan spiritualnya dalam Isra Mi'raj, Sayidina Umar ditanya, apakah engkau percaya terhadap apa yang diceritakan Nabi barusan? Ia menjawab, sepertinya saya belum bisa percaya. Nanti setelah diyakinkan melalui penjelasan khusus dari Nabi baru ia percaya dan yakin. 

Selanjutnya, ketika Sayidina Abu Bakar ditanya dengan pertanyaan yang sama, Abu Bakar menjawab. "Lebih dari itu, jika itu keluar dari mulut Nabi, saya yakin dan percaya." Sayidina Umar mungkin sementara bisa menjadi contoh orang yang percaya melalui penjelasan (shaadiq). Sedangkan, Sayidina Abu bakar menjadi contoh orang yang percaya tanpa syarat (shiddiiq). Itulah sebabnya kemudian Abu bakar diberi gelar al-shiddiiq, sedangkan Umar tidak memperoleh gelar itu, meskipun pada akhirnya Umar juga sampai pada kualitas al-shiddiiq.

Shadiq dan shiddiq sama-sama berasal dari kata sadaqah-yashduq berati percaya, membenarkan, kemudian membentuk beberapa kata lain termasuk shaadiq dan shiddiiq atau shaduuq. Shaadiq berarti memercayai sesuatu setelah melalui proses panjang, misalnya, menanti penjelasan yang masuk akal dan masuk di hati. Sedangkan, shiddiiq atau shaduuq sebuah kepercayaan lebih mendalam dan tanpa harus menunggu proses penjelasan. 

Shadiq masih terkontaminasi pengaruh akal dan pikiran, sedangkan shiddiiq sudah tidak lagi digoda oleh pikiran. Shaadiq masih sering terganggu oleh suasana mood seseorang sehingga adakalanya percaya sangat dalam, tetapi tiba-tiba kembali ragu. Dampaknya secara sosial orang yang baru sampai di makam shadiq belum bisa dijamin melakukan ketaatan secara konsisten (istiqamah) karena masih fluktuatif, masih riskan untuk terpengaruh faktor internal dan eksternal.

Dalam pandangan ulama tasawuf, sebagaimana diungkapkan Syekh Hasan Syadzali, salah seorang ulama tasawuf yang mu'tabarah (legitimated), seseorang yang sudah sampai ke tingkat shiddiiq sudah mampu menampilkan akhlak karimah. Amalan syariahnya sudah sempurna, karakternya diwarnai dengan muruah, sikapnya dihiasi dengan tawadhu, perilakunya dibungkus dengan zuhud, dan hati dan pikirannya disinari dengan keikhlasan. 

Ia sudah terbebas dari hijab dhulmani dan hijab nurani, mulai hidup di dalam bayang-bayang Alquran dan hadis, dan makrifah Allah sudah aktif bekerja di dalam dirinya, sudah mengenali sejumlah rahasia Tuhan. Orang-orang seperti ini dilukiskan oleh Syekh Hasan Syazali  sebagai "manusia yang tidak seperti manusia" (al-basyar la ka al-basyar). 

"Batin mereka bersama Tuhan dan dhahir mereka  bersama makhluk" (bathinuhum ma'a al-Haq wa dhahiruhum ma'a al-makhluq). "Mereka adalah mereka, tetapi mereka bukanlah mereka" (Fa hum hum wa la hum hum). Merekalah yang berakhlak seperti akhlak Nabi, sebagaimana dilukiskan dalam ayat: Wa wajadaka 'ailan fa aghna (Dan dia mendapatimu sebagai seorang yang berkekurangan, lalu Dia memberi kecukupan/QS al-Dhuha[93]:9). Dalam ayat lain diungkapkan: "Mereka itu akan bersama dengan orang-orang yang dianugerahi nikmat oleh Allah, yaitu para Nabi, para shiddiqin, orang-orang yang mati syahid, dan orang-orang saleh. Dan mereka itulah teman yang sebaik-baiknya"/QS an-Nisa [4]:69).

Orang-orang yang sudah sampai kepada makam shiddiq bukan hanya terbebas dari beban hidup, melainkan juga tidak lagi pernah membebani orang lain, termasuk membebani bangsa dan negara dengan berbagai ulah. Mereka sudah menjadi umat dan warga bangsa yang mandiri tanpa bergantung pada siapa pun selain Tuhan. 

Kita diminta berupaya untuk senantiasa meng-upgrade kepercayaan dan keyakinan diri kita dari tingkat shaadiq ke tingkat shiddiiq. Tidak mudah memang karena dalam kehidupan sehari-hari kita penuh dengan berbagai godaan dan tantangan. Bukan hanya godaan dalam bentuk kesedihan dan kekecewaan, melainkan juga dalam bentuk kesenangan dan kepuasan. 

Seorang shiddiiq selalu memancarkan vibrasi positif dan energi produktif ke dalam lingkungan masyarakat. Kedatangannya selalu dinantikan kepergiannya selalu dirindukan. Bukannya seperti orang yang kedatangannya tak menguntungkan kepergiannya tak mengurangi. (Allahu a'lam). 

Terpopuler