REPUBLIKA.CO.ID, SEMARANG -- Rencana Pemerintah membuka keran impor sapi dinilai tidak akan efektif. Kebijakan ini bahkan kian mengancam para peternak sapi lokal, termasuk di Kabupaten Semarang.
Salah satu peternak sapi Desa Polosiri, Kecamatan Bawen, Harun (43 tahun) mengatakan, kebijakan impor kurang tepat guna menekan harga daging sapi di pasaran. Apalagi, target pemerintah yang akan menurunkan harga daging sapi hingga dikisaran Rp 80.000 per kilogram.
"Ini bukan persoalan mudah," katanya, Senin (6/6).
Harun melihat keinginan Pemerintah ini sangat tidak realistis. Justru sebaliknya, kebijakan impor bisa mengancam kelangsungan para peternak lokal. Sebab jika harga daging sapi berada pada Rp 80 ribu, masyarakat petani jadi resah. Karena bibitnya itu sudah mahal.
"Karkas bibit yang bagus sajasetidaknya sampai Rp 46 ribu per kilogram," ujarnya.
Ketua Kelompok Tani Ternak Bangunrejo, Desa Polosiri, Juwarto (56) mengatakan, tingginya harga daging sapi seharusnya tidak dimaknai sebagai kurangnya pasokan daging sapi di pasaran.
Sehingga rencana penurunan harga daging sapi tidak menjadi Rp 80 ribuper kilogram. Ini dianggap peternak seolah kian membuka lebar keran impor sapi ke tanah air.
Seharusnya Pemerintah, secara bertahap mensubsidi bibit sapi potong dan pakan. Karena kedua elemen ini membuat ongkos produksi budidaya sapi potong menjadi lebih mahal.
"Jika dikaitkan dengan kondisi saat ini, Pemerintah pilihannya kok harus mengimpor sapi dari luar negeri, bukan memikirkan peternak lokal," tegasnya.
Ia juga menjelaskan, para peternak lokal di Kabupaten Semarang sebenarnya bisa menerima skema penurunan harga daging Pemerintah ini. Hanya saja, para peternak tidak harus merugi. Ia mencontohkan Pemerintah bisa mewujudkan bibit sapi berkualitas kepada mereka.
"Mungkin untuk impor dari Australia itu enggak harus dipotong. Tapi harus digemukkan oleh peternak dahulu," tegasnya.