REPUBLIKA.CO.ID, SOLO -- Ada yang selalu dinanti-nantikan warga Solo tiap kali Ramadhan tiba. Ya, sejak Ramadhan 1930, mereka selalu menantikan gurihnya bubur samin khas Masjid Darussalam, Jayengan, Solo.
Bubur samin menjadi menu berbuka puasa yang selalu dinantikan kehadirannya. Bahkan warga dari luar kota Solo seperti Sragen, Karanganyar, Sukoharjo, Boyolali, Wonogiri, dan Klaten juga sengaja datang ke Masjid Darussalam hanya untuk menikmati gurihnya bubur samin.
Tepat ba’da Ashar, petugas pembagian bubur di Masjid Darussalam mulai bekerja. Begitu banyaknya peminat bubur samin sehingga mereka harus mengantre. Antrean itu begitu panjang hingga mengular di halaman masjid. Mereka secara tertib berdiri menunggu jatah bubur sembari menenteng rantang, termos kecil, dan stoples.
Lantas, mengapa namanya bubur samin? Ini karena membuatnya menggunakan minyak samin sebagai penyedap yang memberi cita rasa khas. Minyak samin inilah yang menjadikan bubur berwarna kekuningan.
Sejarah mencatat, bubur tersebut pertama kali dibuat oleh kalangan saudagar permata asal Banjar, Kalimantan Selatan. Sekitar tahun 1930, komunitas saudagar Banjar yang bermukim di sekitar Masjid Darussalam, merintis tradisi menyediakan bubur samin sebagai menu berbuka para jamaah masjid.
Aroma khas Banjar dari bubur ini menyeruak melalui kehadiran rempah-rempah, seperti kapulaga serta minyak samin. Setiap harinya pengurus Masjid Darussalam menghabiskan 40 kg beras dan sekitar lima kg bumbu, antara lain, bawang merah, bawang putih, kapulaga, jahe, serai, kayu manis, lengkuas, dan kunyit.
Tak ketinggalan, bahan lainnya, seperti santan, minyak samin, telur, dan daging sapi. Saat disajikan, bubur samin dilengkapi dengan sambal goreng, telur, dan daging yang biasanya diolah dengan bumbu kare.