REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Masyarakat Betawi punya tradisi 'Malam Ketupatan' ketika Ramadhan memasuki pertengahan bulan. Tradisi ini biasa dilaksanakan pada malam-malam ganjil setelah 17 Ramadhan.
Ustaz Karsan, tokoh masyarakat Kampung Betawi di Setu Babakan, pernah mengatakan tradisi 'Malam Ketupat' dilaksanakan saat malam yang disebut masyarakat Betawi malam likuran.
''Tradisi ini dilakukan bergilir di setiap mushala pada 21, 23, 25, 27, dan 29 Ramadhan,'' katanya seperti dikutip dari Pusat Data Republika.
Tujuannya untuk menyambut malam lailatul qadar dengan sukacita. “Bulan puasa ini bulan gembira,” ujarnya. Warga Betawi, Karsan mengatakan, umumnya kompak dan berpendirian kuat memegang tradisi.
Tradisi 'Malam Ketupat' ini biasa disebut juga sebagai sedekah abug. Karena pada malam berkumpulnya masyarakat di masjid atau mushala itu, juga tersedia kue abug.
Kue abug merupakan kue yang dibuat dari beras yang ditumbuk atau tepung beras ketan. Di dalamnya diisi dengan gula merah dan kelapa. Bentuknya segitiga dan dibungkus dengan daun pisang.
Pada era 1970-an, Karsan mengatakan, hampir semua warga membuat kue abug. Namun, kini hanya beberapa warga saja yang membuat kue tersebut. Pada malam abug atau tradisi ketupat itu, setiap rumah memiliki tugas masing-masing untuk membuat jenis panganan tertentu.
Setelah melaksanakan shalat Tarawih, masyarakat Betawi berkumpul dan menyantap aneka hidangan yang tersedia secara bersama-sama. Sembari menikmati hidangan malam, warga Betawi berbincang-bincang hingga pertengahan malam.