TPU Dreded Lebih Sepi dari Tahun Kemarin

Rep: C21/ Red: Julkifli Marbun

Ahad 19 Jul 2015 21:43 WIB

ilustrasi (Antara/Aditya Pradana Putra) ilustrasi (Antara/Aditya Pradana Putra)

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Tempat Pemakaman Umum (TPU) Dreded terasa ramai dikunjungi peziarah sejak Idul Fitri sampai hari Minggu (19/7) ini. Keramaian penjaga makam yang menginginkan rezeki, maupun keluarga yang ingin mengunjungi Family yang telah wafat.

Muhammad Ading (64) telah mengabdikan diri selama 15 tahun untuk menjaga makam di sini. Laki-laki bertopi, berumur lanjut serta memegang sapu lidi kerap menunggu datangnya keluarga pemilik makam.

Tidak kurang dari 20 makam dia pegang atau jaga. Karena penjaga makam pun mempunyai jatah masing-masing atau membagi hasil. "Pada tahun lalu keramaian sampai H+7, sedangkan sekarang H+2 pun terlihat sepi," katanya sambil duduk di salah satu makam.

Rumah Ading berada di Ranggamekar, Bogor Selatan. Jadi kesehariannya bekerja sebagai pengurus makam. Selain itu, tidak jarang dia menjadi buruh lepas ketika musim ziarah sepi.

Keuntungan menjaga makam pada hari pertama Lebaran, sekitar Rp 250 ribu. Cukup untuk membuat dapur lebih mengebul pada hari biasanya. Namun sayang pada H+2 kali ini, pengunjung mulai sepi. Dari ke-20 makam yang dijaganya, tidak semua orang yang hadir menjenguk family-nya yang telah dipanggil sang Khalik.

Ading yang mempunyai seorang istri, dan lima orang anak berkata, beberapa makam sudah jarang dikunjungi oleh keluarganya. Dia sangat menyayangkan pada keluarga penghuni makam Dreded yang tidak berziarah. Selain karena keuntungan, mungkin karena teringat ketika seorang dilupakan ketika wafat.

Keluarga yang dimakamkan rata-rata adalah orang Layung Sari, Bondongan, Lebak Pasar dan Komplek sekitaran TPU Dreded. Hikmah untuknya selain mendapatkan uang dari peziarah. Mungkin masih adanya silaturahmi ketika keluarga datang dan mengingat ayah, ibu atau keluarganya yang telah meninggal.

"Sedih kalau melihat kuburan orangtua tidak dikunjungi keluarga," katanya.

Hal unik yang bisa diceritakan ketika datang kepemakaman adalah banyak kuburan yang bertumpuk. Jadi ada satu kuburan yang terisi dua jenazah, jadi ketika berdoa dua keluarga mendoakan kuburan yang sama walaupun terdapat dua orang yang telah meninggal.

"Biasanya jenazah lama, yang disatukan dengan jenazah baru," tuturnya. "Tapi kebanyakan masih ada hubungan keluarga," tambahnya.

Mungkin ada anak dan orangtua yang kuburannya disatukan, karena terbatasnya lahan. Jadi ditumpuk saja, kanan sang anak, kiri orangtua, dan dikubur dalam satu liang lahat.

Kalau yang lama biasanya sudah tinggal tulang belulang.

Kalau seperti itu dia tidak terlalu sedih. Namun berbeda jika ada makam yang ditumpuk karena tidak pernah dikunjungi keluarga.

Kemudian dia menerangkan, kalau di Dreded bayar galian sudah dengan kuburan semen Rp 600 ribu, kalau hanya memakai tanah atau batu Rp 150 ribu. Bayar pajak pekuburan pun pertahunnya hanya Rp 50 ribu, kalau tidak pernah bayar pajak digali dan ditumpuk dengan lainnya.

Ading melihat lebih banyak makam yang tidak terurus karena keluarga mereka mungkin sudah pergi dari bogor dan tidak ingat orangtuanya lagi.

Namun dia sendiri tidak terlalu ambil pusing, karena itu kewajiban keluarga yang masih hidup.

Selain Ading ada pengurus makam dadakan, yaitu Erman Suryana (41) yang kesehariannya bekerja menjadi petugas kebersihan Dinas Kebersihan dan Pertamanan (DKP) Kota Bogor. Dia dan istrinya, Yati Nuryati (37) memanfaatkan momen ini untuk mencari penghasilan tambahan di Dreded. Karena rumah mereka tidak terlalu jauh hanya, yaitu di Jerokutakidul, Kel Empang, Bogor Selatan.

"Biasanya cuma kerja dari lebaran pertama sampai H+2," katanya.

Karena besok Erman telah mulai bekerja sebagai petugas kebersihan. Dia bercerita keuntunganpada hari pertama Rp 150, H+1 Rp 125, dan sekarang hanya mendapatkan Rp 25 ribu.

Di DKP Kota Bogor dia bekerja honorer, jadi gajinya hanya Rp 1,4 juta perbulan. Menurutnya kurang mencukupi karena mempunyai anak tiga. Anak pertama sudah lulus SMK, kedua baru mau masuk SMA, dan yang ketiga berumur tiga tahun. Namanya adalah Novi Nuryanti, Anggi Oktaviani, Azahra Putri Ramadhan.

Karena biaya anak kedua akan masuk SMA mahal. Di momen kali ini dia cukup bersyukur walaupun kerja serabutan di makam. Anak keduanya harus butuh seragam baru dan buku baru yang cukup mahal.

Dari sisi peziarah pun ikut bicara, yaitu seorang pelayan restoran, Aditya Fardiansyah asal Sukasari, Bogor, yang mengunjungi makam kakeknya. Kakeknya telah meninggal sejak tahun 2006. Dia hanya mengatakan, kalau saya meninggal jangan sampai begitu, dan semoga anak-anak tetap ingat kepada orangtua walaupun telah meninggal dunia.

 

Menurutnya tidak mengunjungi keluarga karena ekonomi tidak masuk akal. Dia sendiri mengunjungi makam hanya mengeluarkan uang Rp 25 ribu. Jadi tidak ada alasan melupakan orangtua yang wafat karena faktor ekonomi.

"Kecuali karena keluarga yang masih hidup tinggal jauh di luar kota," ungkapnya.

Terpopuler