REPUBLIKA.CO.ID, YOGYAKARTA –- Masyarakat Yogyakarta dikenal cukup memegang teguh tradisi. Termasuk tradisi syawalan ketika Hari Raya Idul Fitri datang.Tradisi ini diturunkan secara turun temurun di setiap keluarga.
Tradisi syawalan sendiri merupakan acara silaturahmi yang dikenal dengan istilah halal bihalal di daerah lain. Setiap orang saling mengunjungi rumah keluarga, tetangga, dan kerabat. Tentunya ada beberapa agenda yang masuk ke dalam rangkaian kegiatan syawalan. Satu di antaranya adalah sungkeman.
Warga Babadan Baru, Condong Catur, Sleman, DIY, Haris Herbandang (40) menceritakan agenda tahunan yang selalu dilaksanakan warga di tempat tinggalnya. “Awalnya dimulai dari malam menjelang 1 syawal. Saat isya semua orang berkumpul di masjid untuk mendengarkan hasil siding isbat,” katanya pada Republika, Ahad (19/7).
Setelah shalat isa berjamaah, diumumkan bahwa besok Idul Fitri. Lalu semua warga pulang ke rumahn masing-masing untuk mengambil perangkat takbiran yang sudah disiapkan beberapa hari sebelumnya. Karena di wilayah DIY, selalu diselenggarakan lomba takbiran setiap tahun. Termasuk di Sleman.
“Jadi setiap kampung memang ada lombanya,” tuturnya menjelaskan. Lomba pun berlangsung setelah shalat isya sampai tengah malam. Otomatis semua kampung menjadi ramai dengan yel-yel takbir. Bahkan beberapa jalan pun dipadati warga yang mengikuti Gebyar Takbiran.
Keesokan harinya, Bandang dan keluarga melaksanakan shalat Idul Fitri di Masjid Sultan Agung. Setelah itu, jamaah langsung bersalam-salaman. Menurutnya yang membuat tradisi syawalan menjadi semakin indah adalah acara maaf-maafan yang bias dilakukan secara langsung. Bahkan dengan orang yang lama tidak jumpa karena merantau.
Usai itu, barulah semua keluarganya jiarah ke makan orang tua yang sudah meninggal. “Biasanya yang memimpin doa adalah takhmir masjid,” ujarnya. Setelah agenda jiarah selesai, tradisi Idul Fitri masyarakat Yogyakarta dilanjutkan dengan sungkeman kepada orang tua. Seperti pada kakek, nenek, bapak, dan ibu.
“Sungkeman itu meminta maaf pada orang tua dengan cara mencium lututnya,” kata Bandang. Tradisi ini, menurutnya dilakukan juga oleh Keraton Yogyakarta dengan sebutan Ngabekten. Setelah sungkeman selesai, barulah semua kelurga bercengkrama dan menikmati hidangan khas lebaran, ketupat dan opor ayam .
Sepupu Bandang, Risang Cahyo (24) menyampaikan, sebagai generasi muda ia akan terus melakukan tradisi trsebut setiap tahunnya. Bahkan ia berniat untuk melanggengkan adat hari lebaran pada anak keturunannya.”Kegiatan seperti ini harus dilestarikan,” kata pria yang baru menikah beberapa bulan lalu itu.
Warga Jagalan, Kota Gede, Yogyakarta, Tri Darmiati (28) pun menuturkan hal yang sama. Menurutnya, hari pertama Idul Fitri keluarganya selalu melagsungkan syawalan kepada kerabat terdekat. “Kebiasaannya yang muda mengunjungi yang tua,” papar Tri. Di hari kedua acara halal bihalal pun dilanjutkan pada kerabat yang jauh.
Hal ini dibenarkan oleh warga Terban, Kota Yogyakarta, Sugiono (55). Di hari kedua ia bersama anak cucunya sengaja pergi ke Wonosari untuk mengunjungi kerabat di sana. “Sekalian ada kumpulan trah (kerabat) di sana,” ujarnya pada Republika. Setelah itu, pada hari ketiga dan seterusnya masyarakat biasa berekreasi bersama keluarga.