'Budaya Halal Bihalal Milik Muslim Indonesia'

Red: Israr Itah

Jumat 17 Jul 2015 09:02 WIB

Jamaah di Masjid At Tin Foto: Republika Foto Jamaah di Masjid At Tin

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kepala Badan Litbang dan Diklat Kemenag Prof Abdurrahman Mas'ud menyatakan budaya halal bihalal merupakan milik umat Muslim Indonesia dan tak ditemukan dalam dunia Islam lainnya. Karena itu tradisi tersebut diharapkan dapat ditegakkan secara berkesinambungan dan konsisten.

Saat menyampaikan khutbah Idul Fitri di Masjid Agung At-Tin Jakarta, Jumat (17/7), ia mengatakan sangat ironis jika halal bihalal yang unik itu hanya sekedar dilanggengkan sebagai seremoni tanpa arti. Ia mengharapkan tradisi yang berjalan tiap tahun tak berjalan begitu saja tanpa adanya kemajuan apapun.

"Apa yang bisa kita dapatkan dari halal bihalal ini? Inilah pertanyaan penting yang harus kita kemukakan pada diri sendiri," kata Mas'ud.

Hadir pada shalat Idul Fitri tersebut keluarga besar almarhum Soeharto dan Ketua Dewan Pengurus Masjid Agung At-Tin, Muhammad Maftuh Basyuni.

Ia mengatakan, apabila Idul Fitri dan halal bihalal kehilangan ruh dan substansi, maka budaya formalistik, seremonial, ritualistik, agaknya belum mampu berjalan seirama dengan ajaran dasar agama dan etika sosial masyarakat Indonesia.

Sebuah penelitian antropologi baru-baru ini, kata mantan Ketua ICMI Los Angeles AS (1992-1995) ini, membuktikan bahwa selama tiga dekade terakhir, ajaran hablum minannas (human relation) tidak populer. Sebaliknya, ajaran hablum minallah pada dasarnya merupakan wajah utama keberagaman muslim Indonesia yang hampir-hampir tidak berhubungan dengan hablum minannas.

Puasa Ramadhan selalu diakhiri dengan perayaan Idul Fitri. Secara etimologi, Idul Fitri terdiri dari dua kata. Pertama, 'id. Dalam Lisaanul Arab, Ibnu Mandzur menyatakan, kata ini diambil dari kata 'ada, bermakna "kembali". Ini menunjukkan bahwa Idul Fitri selalu berulang dan kembali datang setiap tahun.

Ada juga yang berpendapat diambil dari kata 'adah yang berarti kebiasaan. Artinya bahwa kaum muslimin sudah biasa pada 1 Syawal selalu merayakannya.

"Satu hal yang patut kita syukuri adalah bahwa rahmat Allah lah yang membuat kita mampu menyelesaikan kewajiban berpuasa sebulan penuh, sebuah ibadah yang bisa dipandang ringan sekaligus berat. Bagi muslim yang berpegang teguh pada ajaran Allah, akan menganggapnya sebagai pekerjaan ringan," katanya.

Sebab, lanjut dia, puasa tidak hanya menjadi bagian dari kehidupannya. Akan tetapi dia yakin sebagaimana keterangan Allah bahwa puasa telah menjadi bagian terpenting dalam sejarah umat manusia. Dengan kata lain, puasa merupakan satu syarat bagi manusia yang mendefinisikan dirinya sebagai makhluk yang berbudaya dan berperadaban.

Lantas, puasa macam apakah yang telah mengantarkan muslimin sebagai kaum aidin wal faizin wa maqbulin? Yakni puasa yang menjadikan manusia kembali pada fitrahnya, manusia yang menang, dan diterima di sisi Tuhannya. Pertanyaan ini sekaligus merupakan evaluasi terhadap ibadah puasa.

"Benarkah kita layak mendapatkan sebutan tersebut?" tanyanya.

Yang jelas, kata Mas'ud, Ramadhan membawa nilai tambah yang mengantarkan seseorang menjadi manusia bertakwa. Introspeksi dan ekstropeksi selalu relevan dengan sabda Nabi "hasibu qabla an tuhasabu" (perhitungkanlah amal-amal kalian sebelum amal kalian diperhitungkan Tuhan).