'Ingat, Mudik itu Silaturahim Bukan Pamer Kekayaan'

Rep: c38/ Red: Agung Sasongko

Senin 13 Jul 2015 16:31 WIB

Silaturahim Foto: ANTARA Silaturahim

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tak urung, sebagian orang terjebak dalam sikap pamer kesuksesan di kampung halaman. Ketua PP Muhammadiyah Yunahar Ilyas menilai, dalam batas-batas tertentu hal ini masih bisa dipahami. Menurutnya, ada kebutuhan untuk menunjukkan eksistensi diri.

‘Ini lho kerja keras saya selama setahun.’ Salahnya, kata Yunahar, ketika orang terlalu berlebihan dalam menunjukkan eksistensi diri.

Belum sampai tingkatan sombong, Yunahar menyebut sikap itu sebagai ujub atau membanggakan diri. Ia mengatakan, ujub juga dilarang dalam Islam. Pasalnya, selangkah lagi ujub akan menjadi sombong. Sementara, sombong adalah induk segala dosa. Itulah sisi negatif tradisi berbagi yang terlalu memaksakan diri.

Lepas dari itu, ada banyak sisi positif dari tradisi berbagi di saat lebaran. Tradisi berbagi mewujudkan semangat kegembiraan hari raya. Yunahar menyebut kebiasaan berbagi di hari raya itu sebagai pemerataan kebahagiaan, alih-alih pemerataan ekonomi.

“Yang dibawa itu kan sifatnya konsumtif. Baju, sepatu, tas, makanan, bukan modal usaha. Kecuali kalau pemudik membawa pulang modal, baru pemerataan ekonomi,” ungkapnya.

Lantas, bagaimana merayakan hari kemenangan dengan penuh khidmat? Yunahar mengungkapkan, Islam hanya menyuruh umat untuk sholat Ied dua rakaat saat Idul Fitri. Tetapi, agama senantiasa hidup berdampingan dengan budaya di tengah masyarakat. Silaturahim ke rumah sanak saudara dan berbagi angpau hanya tradisi masyarakat. Tradisi ini mendapatkan ruh dari ajaran Islam tentang silaturahim dan sedekah.

“Kadang-kadang, budaya itu tidak terkontrol. Itulah tugas ulama untuk mengontrol, bukan menghapus. Orang tidak bisa hidup tanpa budaya. Tetap ada budaya, tapi tidak berlebihan dan melanggar ajaran Islam. Jangan sampai bersikap mubadzir dan foya-foya,” kata Yunahar, seraya menyebut kedua sikap tersebut sebagai penyakit umat di hari raya.

Terpopuler