REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mudik. Terselip secuil kisah manis-ironis di balik ritual mudik.
Setahun sudah para perantau berjuang habis-habisan di ibukota, menabung rupiah demi rupiah, hanya demi mudik. Selepas itu, tak ada lagi rupiah tersisa. Semua habis dalam tempo sepekan perayaan hari raya.
Bagaimana sebenarnya Islam memandang dan mengajarkan berbagi di hari nan fitri?
“Itu salah satu berkah Idul Fitri. Orang-orang rantau pulang ke kampung halaman, membawa oleh-oleh, berbagi kebahagiaan. Cuma yang perlu diingatkan, jangan memaksakan diri,” tutur Ketua PP Muhammadiyah, Yunahar Ilyas, kepada ROL, Senin (13/7).
Menurut Yunahar, tradisi berbagi di hari raya sangat dianjurkan bagi mereka yang mampu. Saling memberi dengan kerabat dan sanak saudara di kampung merupakan tradisi bernilai sedekah. Tapi, itu bukan suatu kewajiban yang harus dipaksakan. Kalau memang tidak mampu, cukup membawa oleh-oleh ala kadarnya saja.
Ulama kelahiran Bukit Tinggi ini mengisahkan satu ironi yang lazim di tengah kaum urban. Setahun penuh mereka bekerja di kota-kota besar, mengumpulkan rupiah demi rupiah, kemudian menghabiskannya dalam satu kali lebaran. Tahun depan kembali lagi ke kota, mengumpulkan uang, dan habis pada lebaran selanjutnya.
Siklus hidup itu berulang dari tahun ke tahun. Tidak ada peningkatan ekonomi. Padahal, kata Yunahar, seharusnya ia bisa menyisihkan penghasilannya untuk modal usaha. Yunahar tidak memungkiri tradisi itu berkaitan dengan karakter sosiologis masyarakat Indonesia. Tingginya solidaritas sosial masyarakat pedesaan membuat mereka sungkan untuk pulang dengan tangan kosong.
Karena itu, menurut Yunahar, masyarakat harus timbal balik. Kadang, pemudik ingin untuk tidak memaksakan diri. Tapi, masyarakat di kampung halaman secara tidak langsung menuntutnya untuk menampakkan kesuksesan dan berbagi dengan sanak saudara.
“Nanti pilihannya cuma dua; pulang habis-habisan atau tidak pulang sama sekali,” kata Yunahar.