Menelisik Tradisi Mudik

Rep: c94/ Red: Agung Sasongko

Ahad 12 Jul 2015 17:19 WIB

Tradisi Mudik Foto: MgROL17 Tradisi Mudik

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tradisi mudik dari tahun ke tahun menunjukan peningkatan signifikan. Berdasarkan pemaparan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan angka pemudik tahun 2015 akan mengalami kenaikan dua persen dari angka pemudik sebanyak 20 juta penduduk.

Di Ibukota Jakarta, Dinas Dukcapil mencatat sebanyak 3.763.392 jiwa yang akan melakukan mudik pada Tahun ini. Angka itu mengalami kenaikan sebesar tiga persen dari tahun lalu yang jumlahnya 3.616.774.

Meski begitu, ternyata angka yang diperkirakan belum termasuk jumlah pemudik lain lantaran kesulitan untuk menghitung total keseluruhan. Sebab, prediksi itu belum termasuk pengguna sepeda motor, angkutan roda tiga, serta pengguna jalan tol termasuk mobil pribadi.

Jika keseluruhan moda angkutan Lebaran tersebut ikut diperhitungkan, maka dapat diperkirakan jumlah warga dalam arus mudik melalui Jakarta bisa mencapai kurang lebih 6,5 juta jiwa.

Di Indonesia, budaya mudik merupakan tradisi. Masyarakat serentak berpindah dari kota-kota besar untuk pulang ke kampung halaman.  Asal usul kata mudik sendiri, menurut pemaparan sejarawan JJ Rizal mudik dalam tradisi Betawi Melayu adalah melakukan perjalanan ke arah selatan.

"Dia pergi ke arah selatan terkait dengan balik arah dari arus besar sungai ciliwung,"katanya kepada ROL Sabtu (11/7). Perlu patokan waktu untuk menentukan kata mudik yang banyak menafsirkan pada hulu dan hilir atau hilir dan mudik.  

Menurut Rizal, pada masa Hindia-Belanda kalau kata udik ini merupakan perpindahan dari kota Benteng Batavia akibat penyakit sehingga membuat penduduk saat itu pindah ke selatan. "Jadi kalau orang Betawi bilang mudikin itu artinya ke selatan. Nah orang udik itu adalah orang di selatan,"ujarnya.

Dia menjelaskan, proses migrasi pada masa itu adalah pergi ke arah selatan. Sebab, dulu para pekerja budak, pembantu, atau orang berasal dari kampung jika masuk ke wilayah  Batavia mereka menyebutnya masuk kota.

Mereka berangkat dari kota itu menyebutnya ngetanen. Sedangkan, balik disebut dengan mudikin. "Jadi balik ke udik karena mereka orang udik,"kata sejarawan dari Penerbit Komunitas Bambu itu.

JJ Rizal menambahkan, kata mudik kemudian menjadi dominan lantaran mereka rutin melakukannya tanpa batasan hari-hari tertentu. Sehingga kapanpun mereka meninggalkan rumah tuannya di Batavia untuk kembali ke daerah kampungnya di selatan memiliki artinya mudikin.

Kata udik sendiri berasal dari Betawi Melayu. Meski demikian, Rizal menerangkan, kata mudik sendiri juga diartikan atau asalkan oleh budaya lainnya seperti di Jawa dengan istilah Munduh Ditilik. "Itu hanya masalah utak-atik kata saja. Tapi itu lahir dari konsep pertumbuhan kota ketika ada urbanisasi,"ungkapnya.

Dia mengatakan, Konsep mudik sendiri awalnya tidak melulu terkait dengan perayaan penting seperti Idul Fitri atau Lebaran. Jadi perkembangannya jika ada seorang pulang kampung itu artinya dia mudik. "Misalnya pembantu situ kemana?, Mudik. Jadi Tidak hanya lebaran tapi bisa kapan saja sebulan atau tiga bulan sekali. Jadi tidak hanya karena perayaan. dia punya udik. Dia punya kampung. Udik tuh ya kampung,"katanya.

Seiring perkembangan urbanisasi kata mudik sediri sudah tidak bermakna pergi ke kampung atau ke Selatan. Pemaknaan mudik saat ini bisa diartikan ke mana saja ke Utara, Barat, atau Timur.

"Karena kemudian Jakarta memang didatangi dari mana-mana. Jadi konsep yang orientasinya ke arah selatan karena balik lagi sama dengan arti awalnya. Karena proses urbanisasi itu mendatangkan orang dari segala macem arah,"ujarnya.

Terpopuler