REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -– Direktur Utama Lazismu, Khoirul Muttaqin menjelaskan, kericuhan yang sering muncul saat penyaluran zakat langsung berkaitan dengan karakter sosiologi masyakarat Indonesia.
Para mustahik (penerma zakat) lebih senang menerima bantuan dalam bentuk tunai dibandingkan program pemberdayaan masyarakat.
“Sebetulnya tidak bisa kita melarang mereka untuk berebut menerima zakat. Karena bagaimanapun mereka memang kalau diberi ya membutuhkan, sama seperti bantuan langsung tunai,” ungkap Khoirul kepada Republika, Sabtu (11/7).
Menurut dia, ada pembentukan kesadaran yang tidak pahami oleh masyarakat Indonesia. Masyarakat telah terbiasa untuk menerima bantuan langsung tunai, baik dana pemerintah maupun dana umat. Akibatnya, mereka lebih suka menerima bantuan dalam bentuk tunai daripada program pemberdayaan masyarakat.
Khoirul juga menambahkan, rata-rata dana tunai tersebut menjadi bantuan yang sangat konsumtif dan bisa habis dalam hitungan hari.
Dana ini seringkali tidak bisa dimaksimalkan untuk meningkatkan kapasitas kesejahteraan ekonomi keluarga. Menurut Khoirul, itu akan menjadi lain apabila zakat disalurkan lewat lembaga amil.
Dirut Lazismu ini menjelaskan, ada peran-peran yang bisa dipercayakan kepada lembaga-lembaga amil zakat yang sudah legal dan tepercaya. Pemberi zakat bisa meminta bantuan lembaga amil untuk menyalurkan zakat mereka. Kalaupun pemberi zakat ingin terlibat langsung, karena ini bagian dari aktivitas sosialnya, bisa dihadirkan saat prosesi.
Terkait hal ini, menurut Khoirul, ada kapasitas-kapasitas tertentu yang masih bisa dipahami, meskipun sangat berpotensi mendekati riya. Sisi positifnya, kata Khoirul, hal itu bisa memotivasi orang lain untuk membangun kesadaran yang sama.
“Kita tidak menginginkan adanya anarkisme dalam memperoleh zakat karena Islam tidak pernah mengajarkan umat untuk memperoleh zakat. Islam mengajarkan kepada setiap umat untuk menunaikan zakat. Ini yang juga menjadi masalah lantaran lemahnya kondisi perekonomian umat kita,” kata Khoirul.