Secara Sosiologis Mudik Perkuat Kekerabatan

Rep: c38/ Red: Agung Sasongko

Jumat 10 Jul 2015 18:09 WIB

 Pemudik turun dari kapal Dorolonda jurusan Balikpapan  Surabaya di Jamrud Utara, Pelabuhan Tanjung Perak, Gapura Surya Nusantara Surabaya, Jawa Timur, Jumat (10/7). (Antara/Didik Suhartono) Pemudik turun dari kapal Dorolonda jurusan Balikpapan Surabaya di Jamrud Utara, Pelabuhan Tanjung Perak, Gapura Surya Nusantara Surabaya, Jawa Timur, Jumat (10/7). (Antara/Didik Suhartono)

REPUBLIKA.CO.ID JAKARTA --  Mudik tak sekedar kembali pulang. Mudik sarat akan makna, baik dalam konteks keumatan maupun kebangsaan.

“Mudik itu tradisi umat yang baik. Mudik bisa menjadi sarana untuk aktualisasi nilai-nilai Ramadhan dan Idul Fitri dalam kehidupan kolektif,” kata Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir, kepada ROL, Jumat (10/7).

Menurut Haedar, fenomena mudik di Indonesia dapat dilihat dari dimensi sosiologis, kebangsaan, dan keagamaan. Secara sosiologi, mudik terkait budaya pedesaan atau budaya kampung. Suasana kampung menjadi konstruksi yang dirindukan ketika seorang individu ke luar dari kampung halaman.

Haedar menjelaskan, mudik lantas menjadi wahana menghidupkan kembali suasana komunalitas. Suasana komunalitas adalah rasa orang untuk selalu hidup bersama dengan orang lain dalam suasana kekerabatan dan hubungan antar personal yang erat.

Menurutnya, suasana itu tidak diperoleh dalam kehidupan baru di kota yang cenderung megapolis, di mana hubungan bersifat renggang, egosentris, individualis, dan impersonal. Relasi sosial dibangun di atas persambungan alat, baik alat teknologi, sistem, maupun birokrasi.

Karena itu, Haedar menegaskan, mudik secara sosiologis adalah fenomena kembali pada komunalitas, kembali ke tempat manusia itu lahir, tumbuh, dan dibesarkan.

Terpopuler