Mudik Aktulisasi Nilai-Nilai Ramadhan

Rep: c38/ Red: Agung Sasongko

Jumat 10 Jul 2015 17:37 WIB

Mudik Awal: Sejumlah penumpang bersiap menaiki KA Kertajaya tujuan Surabaya di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Rabu (8/7). Foto: Republika/ Yasin Habibi Mudik Awal: Sejumlah penumpang bersiap menaiki KA Kertajaya tujuan Surabaya di Stasiun Pasar Senen, Jakarta, Rabu (8/7).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lebaran menyisakan satu fenomena unik dan khas di Indonesia. Fenomena itu bernama mudik. Ada perkawinan antara tradisi dengan semangat keagamaan yang mewarnai fenomena mudik.

“Tradisi itu bagian dari hidup bermasyarakat. Ada tradisi yang perlu dilestarikan, ada pula yang perlu diperbaharui maknanya. Mudik saya kira tradisi yang baik,”  kata Ketua PP Muhammadiyah, Haedar Nashir kepada ROL, Jumat (10/7).

Haedar menjelaskan, mudik merupakan sarana aktualisasi nilai-nilai Ramadhan dan Idul Fitri dalam kehidupan kolektif. Mudik memiliki dimensi silaturahim, birrul walidain, dan memperoleh kembali ketenangan di tengah keluarga.

Hanya saja, Haedar menambahkan, fenomena mudik sekarang membutuhkan proses reaktualisasi. Mudik jangan dijadikan ajang pamer kekayaan, jabatan, atau kesuksesan. Hal itu justru mengakibatkan orang yang bersangkutan terasing dari lingkungan.

Haedar mengimbau, sesukses apapun orang tersebut di luar, ketika pulang mudik harus melebur menjadi bagian dari masyarakat sekitar. Doktor Sosiologi UGM ini berpendapat, seperti itulah Islam memaknai tradisi. Ada porsi masing-masing, mana yang harus dilestarikan dan mana yang harus didinamisasi.

Terpopuler