REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Al Barra bin Malik adalah saudara Anas bin Malik, pelayan Rasulullah. Lelaki kusut yang berpakaian lusuh dan tak diperhitungkan, tapi sumpahnya senantiasa didengar Allah. Ia menjalani kehidupan yang agung dan pemberani dengan slogan; Allah dan surga.
Ketika berjihad melawan kaum musyrik, Al Barra tidak mencari kemenangan. Ia mendambakan kesyahidan, menjemput ajal di medan perang dalam pertempuran membela Islam. Karena itu, ia tidak pernah melewatkan satu perang pun.
Dikisahkan oleh Khalid Muhammad Khalid dalam Biografi 60 Sahabat Rasulullah, al Barra berperang penuh semangat dalam perang Yamamah. Kedua matanya yang tajam bergerak cepat dan waspada mengawasi seluruh medan perang.
“Wahai penduduk Madinah. Hari ini tidak ada tidak ada Madinah bagimu, tetapi yang ada adalah Allah dan surga,” seru Al Barra membakar semangat kaum Muslim melawan pasukan Musailamah al-Kadzdzab.
Pasukan Musailamah tidak sedikit. Kaum Muslim menghadapi pertempuran sengit. Dalam situasi tersebut, al Barra ke naik ke atas bukit. Ia menyuruh pasukan Muslim melemparkan dirinya ke dalam kebun supaya mereka bisa masuk dan leluasa menyerang. Sungguh, yang ia harapkan hanyalah syahid.
Begitu dilemparkan ke dalam, pedang-pedang kaum musyrikin pun langsung mencabik-cabik tubuh al Barra. Ia sukses membuka pintu masuk, tapi harapan al Barra belum terwujud. Lebih dari delapan puluh luka sabetan pedang tidak menjemputkan ajal pahlawan Muslim tersebut.
Benarlah kata Abu Bakar ash-Shiddiq, “Kejarlah maut, niscaya kehidupan datang padamu.” Selama satu bulan sesudah perang, Khalid bin Walid sendiri yang merawat al Barra.
Al Barra kembali terjun ke medan perang di Irak melawan pasukan Persia. Ia dan saudaranya, Anas bin Malik, mendapat tugas untuk mendekati benteng-benteng pertahanan musuh. Secara tiba-tiba, sebuah jangkar yang dikaitkan rantai panas membara menyambar tubuh Anas.
Al Barra melihat peristiwa itu terjadi. Ia menggenggam rantai membara dengan kedua tangannya. Dengan susah payah, ia berhasil memotong dan melepaskan rantai tersebut. Anas selamat.
Tapi, kedua telapak tangan al Barra tidak ada lagi. Yang tersisa hanya tulang-tulang kering dan terbakar. Sekali lagi, al Barra harus melewatkan beberapa waktu untuk mengobati lukanya. Sahabat ini sadar, ia tidak bisa tergesa-gesa menjemput ajal.
Mimpi al Barra barulah terwujud dalam pertempuran melawan pasukan Ahwaz dan Persia. Saat itu, Amirul Mukminin Umar bin Khattab memerintahkan Sa’ad bin Abi Waqqash untuk mengirim pasukan ke Ahwaz. “Tunjuklah Suhail bin ‘Adi sebagai komandan, ditemani al Barra.”
Perang segera pecah. Al Barra berhasil membunuh 100 prajurit Persia. Umat Islam berhasil meraih kemenangan dalam pertempuran sengit tersebut. Kini, di tengah-tengah jasad para syuhada, ada al Barra yang tersenyum damai laksana cahaya fajar.