REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Membawa anak-anak berlibur saat Ramadhan bukan hal sulit bagi Ade Kumalasari dan suami. Sudah dua kali keluarganya berlibur di tengah menjalankan ibadah puasa Ramadhan.
Pada 2011, mereka mengajak kedua putrinya ke Canberra, Australia. "Saat itu musim semi dan di Canberra ada festival bunga tulip," kata Ade, beberapa waktu lalu.
Mereka menghadiri Festival Floriade yang berlangsung selama sebulan. Kebetulan, acaranya bertepatan saat bulan suci Ramadhan.
Keluarga Ade saat itu tengah menetap di Sydney. Jarak tempuh dari Sydney menuju Canberra sekitar 287 kilometer. Perjalanan ditempuh kurang lebih tiga jam melalui akses tol.
Ade, suami, dan putri sulungnya tetap menjalankan puasa. Perjalanan tiga jam pada pagi hari tidak sampai membuat puasa mereka batal. “Perjalanan pulangnya kami tempuh pada malam hari sehingga tidak dalam kondisi berpuasa,” tutur Ade.
Kedua putrinya, Anindya Amarakamini dan Ayesha Leilani sudah terbiasa berpuasa di tengah penduduk Australia yang bukan mayoritas Muslim. Kedua buah hati Ade tersebut mampu melalui godaan ketika melihat orang sekitar makan dan minum. Meski mengeluh pusing saat di perjalanan, puasa si sulung tidak sampai batal.
“Untuk berbuka puasa, kami menikmati kebab Turki di restoran halal,” kenang Ade.
Kesempatan Ade berwisata di tengah Ramadhan terulang kembali tahun lalu. Saat itu, sang suami mendapat tugas ke Prancis. “Kami sekeluarga turut diboyong.”
Dalam perjalanan menuju Prancis, Ade dan keluarga transit di Singapura selama dua hari satu malam.
"Waktu di Singapura, kami tetap puasa seperti biasa," jelas perempuan berusia 35 tahun ini. Lamanya berpuasa di Singapura juga sama dengan di Indonesia sehingga mereka cukup mudah beradaptasi.
Masa-masa sulit mempertahankan puasa terjadi ketika Ade dan keluarga sudah di Eropa. Ketika itu, Eropa tengah musim panas. Puasa menjadi lebih lama, mulai dari pukul 04.00 hingga pukul 22.00. Ada tambahan puasa sekitar 4,5 jam dari waktu puasa di Tanah Air.
"Kami terpaksa mengambil kondisi sebagai musafir sehingga tidak berpuasa," jelas perempuan yang bekerja sebagai editor dan penerjemah lepas ini.
Berlibur selama 13 hari di Eropa membuat Ade dan keluarga melewatkan puasa Ramadhan sebanyak 11 hari. Meski membolehkan anak-anak tidak berpuasa Ramadhan, Ade tetap memberi mereka pengertian, terutama bagi si sulung Anindya yang sudah berusia baligh.
Ade menjelaskan, hanya orang dengan kondisi tertentu yang boleh tidak berpuasa Ramadhan. Mereka kala itu dalam kondisi sebagai musafir dan kelak harus mengganti puasa pada lain waktu.
“Alhamdulillah, anak sulung saya mengerti dan tetap paham makna puasa sesungguhnya," ungkap pemilik blog travellingprecils.com ini.
Berwisata saat Ramadhan bukan menjadi waktu yang salah. Bahkan, dengan melakukan perjalanan, ada nilai pelajaran yang bisa dipetik. Anak-anak bisa merasakan sulitnya berpuasa di negara lain. “Sebisa mungkin kita tetap mempertahankan puasa di tengah banyaknya godaan,” kata Ade.