Mensyukuri Ketidaksengajaan Puasa 23 Jam

Red: Indah Wulandari

Rabu 08 Jul 2015 15:43 WIB

Yusuf Abduh Foto: dok pri Yusuf Abduh

REPUBLIKA.CO.ID,GRONINGEN -- “Yusuf, kamu tahu siapa yang tidak sahur?” tanya teman saya yang baru sampai kantor.

“Kita,” jawab saya ringkas.

“Kamu tidak sahur juga?” tanya teman saya kaget.

Dialog tersebut dilontarkan oleh pembaca Republika Online, Yusuf Abduh yang kini hijrah ke area Groningen, Belanda.

Menurutnya, komunitas Muslim yang ada di Groningen membuat suasana Ramadhan tetap  kental.

Selain banyak mahasiswa Muslim Indonesia, ujar Yusuf, terdapat juga komunitas Muslim dari Maroko, Turki,dan negara-negara mayoritas Muslim lainnya.

“Alhamdulillah, sudah hari keempat berpuasa di Negeri Kincir Angin, Belanda lancar meski puasanya 19 jam karena musim panas,” ujar Yusuf dalam surat elektroniknya, Rabu (8/7).

Saat musim panas, waktu malam di Belanda menjadi lebih pendek dan siang menjadi lebih panjang. Waktu Subuh sekitar pukul 03.00, Maghrib pukul 22.0, dan Isya’ pada pukul 00.00.

“Hari pertama puasa, saya berhasil bangun sahur jam 2.30 pagi. Hari kedua hingga kelima, saya tidak diberi kekuatan untuk bangun sahur,” jelas Yusuf yang beralasan kerap lupa memasang jam weker.

Setelah dihitung, jika waktu normal berpuasa di Belanda sekitar 19 jam, Yusuf justru bepuasa sekitar 23 jam. Lantaran ia makan terakhir kali pukul 23.00 dan berbuka puasa pukul 22.00 malam hari berikutnya.

Subhanallah walhamdulillah, karena saya berhasil melewatinya dengan baik. Saya hanya percaya bahwa bukan makan yang memberikan kenyang dan energi, tapi Allah SWT yang memerintahkan hamba-Nya untuk makan dan minum sebagai sebab untuk tetap bisa beraktivitas dengan baik,” katanya berharap.

Terpopuler