Iktikaf tak Sama dengan Pindah Tidur di Masjid

Rep: c38/ Red: Agung Sasongko

Selasa 07 Jul 2015 14:15 WIB

Jemaah beritikaf dengan membaca Al Quran di Masjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (14/7). (Republika/Raisan Al Farisi) Foto: Republika/Raisan Al Farisi Jemaah beritikaf dengan membaca Al Quran di Masjid Sunda Kelapa, Menteng, Jakarta Pusat, Senin (14/7). (Republika/Raisan Al Farisi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Lailatul qadr, malam penuh kemuliaan yang disebut-sebut lebih mulia dari seribu bulan. Itulah malam yang diburu oleh umat Islam di seluruh dunia. Menurut Imam Masjid Istiqlal, Ali Mustafa Yakub, kemuliaan malam lailatul bisa diraih apabila seorang Muslim sungguh-sungguh beribadah tanpa melewatkan malam-malam iktikaf.

Iktikaf merupakan amalan utama pada sepuluh malam terakhir Ramadhan. Kiai Mustafa menegaskan, itikaf tidak sama dengan pindah tidur di masjid. Masjid bukan penginapan selama sepuluh hari terakhir Ramadhan. “Kalau tidur, namanya bukan itikaf. Iktikaf itu harus berjaga, muhasabah, dan berzikir,” kata Kiai Mustafa.

Setiap laki-laki Muslim bisa meraih keutamaan sepuluh hari terakhir lewat itikaf. Lantas, bagaimana dengan perempuan? Kiai Mustafa menjelaskan, seorang Muslimah yang mengalami menstruasi tidak boleh melakukan i’tikaf. Kalau perempuan itu mengalami pendarahan di luar menstruasi, ia boleh melakukan itikaf selama bisa menjaga agar tidak menodai masjid.

Meski tidak bisa menunaikan i’tikaf, itu tidak mengurangi keutamaan kesempatan Muslimah untuk meraih lailatul qadr. Perempuan itu bisa melakukan amalan shalih yang lain, seperti infaq atau dzikir.

Terpopuler