Tantangan Berpuasa di Negeri Gingseng (Habis)

Red: Agung Sasongko

Selasa 07 Jul 2015 14:21 WIB

Mentari Restaurant, menjual makanan halal di Seoul, Korsel. Foto: ostcabin.blogspot.com Mentari Restaurant, menjual makanan halal di Seoul, Korsel.

Oleh: Genta Maulana Mansyur, Siswa SMART Ekselensia Indonesia – Dompet Dhuafa

 

REPUBLIKA.CO.ID,  SEOUL -- Waktu terus bergulir seiring kunjungan ke Istana Hwaseong. Betapa besarnya kompleks istana itu. Badan ini terasa pegal-pegal. Saya mulai sering duduk-duduk manis bersama peserta lain. Tapi, enaknya mereka! Mereka ting¬gal membuka ransel, mengambil tempat minum, dan nyes... minumlah mereka untuk menghilangkan dahaga. Tak jarang juga mereka menawari saya untuk minum.

“Apa kamu tak membawa minum? Silakan minum saja punya saya,” kata Mee Sirimanotham alias Jimmy yang ber¬asal dari Laos.

“Maaf, Jimmy, saya sedang berpuasa hari ini, silakan kau saja yang minum,” kata saya menanggapinya.

“Berpuasa (fasting)? Apa itu puasa?” tanyanya dengan penasaran.

Aha! Saya pikir ini merupakan saat yang tepat untuk ber¬dakwah tentang Islam. Maka, saya jelaskan semua hal tentang berpuasa bahwa itu diwajibkan bagi seorang Muslim, alasan mengapa diwajibkan, dan alasan mengapa masyarakat Muslim mau melakukannya.

Alhamdulillah, Jimmy terpuaskan dengan jawaban saya dan menutup percakapan kami dengan berkata, “Baiklah, tetap semangat dalam melakukan misimu, dan beri tahu aku ya saat sudah waktunya bagimu dapat kembali makan dan mi¬num, kita akan membeli ramen bersama di minimarket.”

Saya menjawab dengan senyuman dan anggukan lemah.

Aha, mengingat tawaran Jimmy, saya jadi teringat wak¬tu. Hari terasa lebih gelap, namun masih cukup terang un¬tuk dapat memotret beberapa foto tanpa lampu kilat. Saya lirik jam di tangan. Wah, telah menunjukkan pukul 18.30! Saya membatin, harusnya saya sudah berbuka sejak tadi bila di Indonesia.

Menyadari hal ini, rasa haus mulai terasa lebih menyiksa. Kaki saya pun sudah tak lagi dapat diandalkan. Un¬tungnya, menurut peta yang saya pegang, tinggal melewati dua bangunan lagi maka kami akan sampai di gerbang utama. Itu berarti akhir dari tur yang begitu melelahkan ini dan saya bisa bersantai.

Setelah di sana, tebak apa yang terjadi? Panitia terli¬hat membawa beberapa kantong besar yang ternyata es krim! Mereka membagikan es krim tersebut kepada seluruh peserta. Melihat peserta lain dengan bahagianya memakan es krim, hati saya terasa tersayat-sayat.

Tetapi bagaimanapun, saya dan Nikki kembali teringat akan pahala yang mungkin akan kami tuai bila berhasil menghadapinya dengan ikhlas. Maka, saya tolak secara ikhlas sodoran es krim rasa vanila yang ditujukan kepada saya. Ternyata Eunji teacher dengan baik menyimpankan dulu es krim bagian kami sampai waktu berbuka tiba.

Hari semakin senja, namun matahari tak kunjung menunjukkan tanda-tanda untuk rela membenamkan dirinya. Sudah pukul 19.30. Saya terus mencoba untuk bertahan dengan bas-mallah yang tak hentinya terucap dari mulut ini. Hingga tepat pukul 20.00, saya lihat hari sudah mulai menguning.

Dan tak lama kemudian, efek-efek oranye pun muncul di mana-mana. saya dan Nikki sempat memperdebatkan apakah ini saat yang tepat bagi kami untuk berbuka puasa. Karena perut yang sudah melakukan konser keroncongan plus godaan es krim rasa vanila, kami sepakat untuk berbuka puasa saat itu juga dengan langsung membaca doa.

Setelah meminta bagian kami kepada Eunji teacher, kami membaca basmallah sambil perlahan-lahan membuka kantong es krim yang terasa mulai mencair. Bagaimana rasanya? Subhanallah... dingin... segar... manis... luar biasa! Saya begitu mensyukuri nikmat berbuka ini sehingga tanpa sadar air mata saya berlinang dalam haru.

Adegan ini ternyata terlihat oleh anggota kelompok lain sehingga derai tawa pun terdengar yang dibarengi dengan tepuk tangan riuh, tak terkecuali dari Jimmy. Beberapa dari mereka juga ada mengucapkan selamat kepada kami.

“Congratulation! Selamat atas usahamu! Sekarang, kita bisa makan bersama,” kata satu di antara mereka.

Sepertinya saya mulai merasa hidup kembali! Padahal, hanya sebungkus es krim. Namun, nikmatnya terasa begitu besar sehingga benar-benar membuat saya bersyukur. Hal ini mengajari saya untuk terus bersyukur pada nikmat-Nya yang terlihat kecil maupun yang jauh lebih besar; yang jarang saya sadari keberadaannya.

Saya pun mulai berintrospeksi diri atas nikmat besar yang telah diberikan oleh donatur melalui Dompet Dhuafa dan SMART Ekselensia Indonesia. Saya merasa masih sering kali mengeluh atas apa yang telah diberikan. Padahal, nikmat se¬lama di SMART merupakan karunia yang sulit untuk didapat¬kan di luar sana. Alhamdulillah, Allah telah memberikannya kepada saya.