Tantangan Berpuasa di Negeri Gingseng (1)

Red: Agung Sasongko

Selasa 07 Jul 2015 13:49 WIB

Masjid Seoul Foto: Wikipedia Masjid Seoul

Oleh: Genta Maulana Mansyur, Siswa SMART Ekselensia Indonesia – Dompet Dhuafa

 

REPUBLIKA.CO.ID, SEOUL -- Bulan Juli 2012 lalu, saya mendapat kesempatan untuk mengunjungi Korea Selatan selama satu pekan. Tepatnya ke Kota Suwon dalam rangka berpartisipasi dalam Acara Forum Air Remaja se-Asia Pasifik yang dihadiri oleh lebih dari 170 peserta dari sepuluh negara: Korea Selatan, Thailand, Indonesia, Filipina, Vietnam, Laos, Kamboja, China, Jepang, dan Australia. Para peserta diundang untuk mempresentasikan hasil observasinya tentang kondisi air di negaranya masing-masing.

Saat itu saya bersama Nikki dari Depok, Damba dari Tangerang, dan Vira Ponorogo, mewakili Indonesia dalam event ini. Di sana kami mempresentasikan hasil observasi tentang kondisi air di Desa Cikandang, sebuah desa peternakan di Garut, Jawa Barat.

Acara ini dilangsungkan di kompleks Universitas Kyeong¬gi yang terletak di dataran tinggi Suwon. Pemandangan yang disuguhkan kepada kami di setiap harinya adalah eksotisme Kota Suwon. Perbukitan hijau memagari kota, riak sungai di kejauhan, gedung-gedung pencakar langit di pusat kota, mo¬bil-mobil yang berjejalan bagaikan semut, serta momen ma¬tahari terbit dan terbenam.

Kebetulan acara dilaksanakan bertepatan pada bulan Ramadhan. Sempat terpikir dalam benak kami, empat siswa perwakilan Indonesia yang alhamdulillah semuanya Muslim, akankah kami tak berpuasa dan menggantikannya nanti saat Syawal? Kami berempat bersepakat untuk tidak berpuasa hanya di hari keberangkatan dan kepulangan karena alasan per¬jalanan.

Berpuasa kala musim panas di bumi belahan utara ternya¬ta tantangan yang luar bisa berat. Bayangkan saja, kami harus makan sahur sebelum waktu imsak setempat yang jatuh pada pukul tiga dini hari, sedangkan waktu maghrib baru tiba pada pukul delapan ‘sore’! Berarti kami menahan dahaga dan lapar selama 17 jam nonstop.

Tak hanya itu, godaan untuk tetap berpuasa pun lebih berlimpah ruah di sana. Di Indonesia yang mayoritas masyara¬katnya muslim, orang yang tidak berpuasa tentu saja meng¬hormati mereka yang berpuasa dengan tidak makan di tempat umum secara terang-terangan.

Namun, di Suwon semua orang makan dan minum dengan bebasnya. Minum sambil berdiri, di luar ruangan, apalagi di cuaca panas. Pemandangan orang mendesah lega setelah meminum minuman dingin terasa begitu menggetarkan hari. Glek! Saya kadang ngedumel sendiri,

“Duh, enak kali ya, minum jus dingin itu?” Tidak heran, godaan untuk membatalkan puasa pun acap kali muncul menerpa. Namun alhamdulillah, tak sekali pun saya gubris bisikan-bisikan tersebut.

Lalu, ada lagi yang menggetarkan iman. Di Korea Selatan terdapat pepatah yang berbunyi, “kenakan apa yang kau suka di musim dingin, namun jangan kenakan apa pun di musim panas.” Dapat ditebak, pemandangan membuka aurat merupakan suguhan yang jamak ditemui di mana-mana.

Di hari pertama dan kedua forum, segalanya berjalan tak begitu sukar. Hampir semua agenda kegiatan dilaksanakan di dalam ruangan-ruangan yang sejuk dengan pendingin ru¬angan. Hal yang lumayan menyiksa hanya perjalanan antara apartemen tempat kami menginap dan makan dengan tempat pelaksanaan agenda-agenda yang cukup jauh.

Ditambah lagi, mengingat letak kompleks universitas yang berada di dataran tinggi, membuat medan yang kami lewati berupa tanjakan dan turunan bukit terjal. Minimal empat kali kami bolak-balik dengan jarak satu kilometer naik dan satu kilometer turun tangga di udara terbuka dengan sinar mentari yang menyengat.

Di hari ketigalah tantangan yang sebenarnya menanti kami yang berpuasa. Beruntunglah Vira dan Damba yang kebetulan didatangi masa periodik bulanan mereka. Saya dan Nikki yang tak beralasan uzur syar’i akan mengelilingi Suwon dalam kondisi berpuasa.

 Di hari ketiga ini, ada empat agenda utama, yaitu pergi ke pusat Kota Suwon untuk melakukan misi yang diberikan oleh panitia, mengunjungi Mr. Toilet House (saya sendiri belum tahu apa Mr. Toilet House ini), makan di restoran terkenal di Suwon (yang sayangnya pasti tak kami ikuti), dan mengunjungi Hwaseong Haenggung (sebuah ben¬teng kompleks kerajaan Korea Kuno).

Dapat dipastikan semua rangkaian kegiatan outdoor itu akan sangat melelahkan. Na¬mun, saya harus tetap semangat demi ladang pahala yang telah menanti.

Mr. Toilet House ternyata museum tentang toilet dan kotoran. Bentuk bangunannya saja menyerupai kloset duduk raksasa! Lucunya juga, patung perunggu penyambut tamu di pintu utama berbentuk seorang anak Korea yang sedang buang air besar sambil tersenyum (lengkap dengan kotoran yang belum sempurna keluar plus klosetnya).

Selepas mengunjungi Mr. Toilet House, kami menuju ke pusat kota untuk mengunjungi sebuah restoran terkenal tem¬pat peserta akan makan siang. Sungguh berat rasanya, saya bersama Nikki dan Damba—yang menghormati kami—hanya duduk-duduk malas di balkon restoran terebut sambil meng¬hirup aroma menggiurkan makanan yang disajikan di dalam.

Tak sedikit pengunjung yang memerhatikan kami, khususnya Nikki yang memang berkerudung. Pemandangan seseorang (meski orang asing) berpakaian total tertutup di musim panas ternyata menciptakan sebuah sensasi! Namun, saya bahkan tak menggubris tatapan-tatapan tersebut karena saking le¬lahnya badan ini.

Tanpa terasa, saya rupanya terlelap di sofa. Di tengah-tengah istirahat yang singkat dan nyaman itu, kami dibangunkan untuk menuju ke kompleks Istana Hwaseong.