REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dahulu di zaman Rasulullah, tepatnya bulan Ramadhan, ada dua orang ibu-ibu datang menemui Rasulullah. Mereka meminta izin kepada Rasulullah untuk berbuka di siang hari karena sakit.
Lantas, Rasulullah meminta kedua ibu-ibu tersebut untuk menahannya sedikit lagi, karena menjelang adzan magrib.
"Ibu-ibu tersebut menyanggupi permintaan Rosulullah," ujar Mustaqirin dalam ceritanya mengutip kisah yang dipaparkan Imam Al Ghazali.
Selepas adzan Magrib, Rasulullah mengutus pembantunya, Ubaidillah. Untuk menemui dua tamu perempuan Rasulullah siang tadi. "Rasulullah memerintahkan Ubaidillah membawa mangkuk kosong," kata Mustaqirin.
Ubaidillah menyanggupi perintah Rasulullah. Lalu, dia datang pada perempuan yang dimaksud. Memintanya untuk memuntahkan penyakitnya pada mangkuk yang dibawa.
Perempuan itu menurut saja. Dimuntahkannya di mangkok itu, apa yang ada di dalam perutnya, namun yang keluar adalah darah yang berbau amis. "Kenapa yang keluar darah? Bukankah seharusnya apa-apa yang telah dimakannya saat sahur ataupun berbuka?" tanya Nustaqirin pada jamaah salat taraweh.
Mangkok itu kini terisi setengah oleh muntahan darah. Ubaidillah, membawa mangkok itu pada perempuan yang satunya lagi. Teman perempuan itu juga melakukan hal yang sama. Untuk memuntahkan apa-apa yang ada di perutnya. Maka mangkok itu kmudian penuh darah oleh dua orang sakit.
Ubaidillah bertanya pada Rosulullah. Apa yang dimakan? Kenapa dua perempuan ini memuntahkan darah?
Rasul menjawab. Kedua orang itu bisa menahan lapar dan haus, namun mereka membatalkan pahala puasanya dengan berghibah (bergosip). Mereka tidak bisa menahan lidahnya untuk tidak bergosip.
Menurut Mustaqirin, mengambil hikmah dari cerita imam Ghozali. Dalam puasa, ternyata tidak cukup sekadar menahan lapar dan dahaga dari terbitnya fajar hingga terbenamnya matahari. Dalam berpuasa, artinya mereka juga puasa segalanya. Puasa lisannya, hati, pikiran, mata, dan dari perbuatan yang tidak terpuji.