REPUBLIKA.CO.ID, LAMPNG -- Masa kecil Abdurroni Timan banyak dihabiskan di Sungai Akar. Kekurangan panca indera, tak membuatnya kalah dengan anak sebanyanya yang normal dalam bermain.
Mandi di kali, memanjat pohon kelapa, menjadi aktivitas harian di tempat kelahirannya, Desa Sukarame, Kelurahan Sukarame II, Kecamatan Telukbetung Barat, Kota Bandar Lampung.
"Meski saya tunanetra, saya waktu kecil nakal Pak. Mandi di kali, manjat pohon kelapa, dan bermain ke sana kemari, tidak takut-takut," kata Roni, panggilan Abdrurroni Timan, saat ditemui Republika di rumahnya sebelah Pondok Pesantren Qiroatul Quran Al Fatah, Sukarame, Telukbetung Barat, Bandar Lampung, Senin (29/6).
Bapak delapan anak dan enam cucu ini, mengisahkan perjalanan hidupnya selama 53 tahun dengan kondisi seumur hidup tidak melihat keindahan dunia. Namun, ia tidak kecewa dan tidak menyesal dengan anugrah Allah swt.
Radio Republik Indonesia (RRI), satu-satunya radio yang didengar orang Indonesia tahun 1975, membuatnya tergugah. Suatu sore, ia terperangah mendengar suara orang mengaji dari radio yang suaranya keluar dari corong speaker mushalla.
Tiap sore, ia menyempatkan diri mendengar orang mengaji dari radio di mushalla. "Waktu itu, yang ngaji di radio RRI, Syekh Mahmud Al Husairy. Surat yang dibaca Ar-Rahman. Lama-lama saya hafal surat tersebut," kenang Roni, yang saat itu berusia sekitar 10 tahun. Mendengar radio sore hari seperti menjadi kewajibannya.
Di mana-mana tempat bermain, ia melantunkan ayat-ayat suci Alquran yang dihafalnya. Sampai suatu waktu, ia masuk mushalla dan meminta mic kepada pengurus. Pengurus Mushalla bingung dengan sikap Roni. Setelah mic dipegang, rupanya ia mengaji dengan hafalannya.
Suaranya terdengar ke mana-mana melalui speaker yang dipasang tinggi. Hingga kedua orang tuanya mendengar suara Roni mengaji, lalu menangis.
Sebelumnya, Roni tidak pernah belajar mengaji, padahal sang ayah, Yasmin, seorang guru mengaji. Setelah mengetahui potensi Roni mampu mengaji, barulah sang ayah mengajaknya belajar mengaji dengan serius.
Menginjak usia 12 tahunan, ia dikirim ke Cilegon, supaya masuk Pondok Nurrushobah. Sebelum masuk pondok, ia tinggal di rumah saudara ayahnya. Di tempat ini, ia terus berlatih mengaji. Satu waktu Maghrib tiga ayat hafal, kemudian dua hari berikutnya diuji lagi. Begitulah seterusnya kegiatan Roni sebelum mondok.
Belum lama belajar di pondok, sekitar 15 hari, ayahnya sakit. Ia pulang kampung. Lalu berangkat lagi ke Cilegon, namun ia dititipkan di rumah neneknya. Ia terus belajar mengaji dengan cara hafalan. Awal berlaga di ajang Musabaqoh Tilawatil Quran (MTQ) di Cilegon. Ia bertekad mendaftar ke MTQ.
"Dulu musabaqah (MTQ) cuma ada tingkat dewasa, remaja, anak-anak, dan tuna netra. Setelah lama menunggu, ia mendapat giliran tampil pada pukul 03.00 WIB malam. Saya dapat juara 1, saya dapat hadiah baju kemeja dasar yang gede," kenangnya.