REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS -- Musim panas tengah bergulir di seluruh daratan benua biru ini, siang pun menjadi lebih panjang dibandingkan dengan malam. Waktu subuh dimulai pukul 3.15 dan maghrib tiba pukul 22.15. Dan selama 19 jam pula berarti saya harus menjalani puasa Ramadhan kali ini di jantung eropa, Belgia.
Dibalik panjangnya menahan rasa lapar dan haus, ada banyak hikmah yang terurai di dalamnya bagi saya pribadi. Tinggal di negara non-muslim, diakui atau tidak, kurang lebihnya menggerus tingkat keimanan dengan kadar yang cukup variatif.
Kehadiran bulan Ramadhan sebagai sebuah training center membuat saya mendapatkan energi baru untuk men-charge kembali jiwa saya. Kedatangan ramadhan seperti menemukan mata air yang jernih di kala haus tengah mencekam seluruh tenggorokan. Ramadhan sebagai tempat kembali bagi jiwa yang telah terporak-porandakan oleh nilai-nilai kehidupan materialistis.
Kosongnya perut dari makanan dan minuman, membuat pikiran menjadi lebih jernih untuk menyelami dan mengenal kondisi psikologi saya selama ini. Walaupun memang di satu sisi saya harus berpuasa lebih panjang, kondisi seperti ini memberikan ruang lebih banyak bagi saya untuk mengenal siapa diri saya sebenarnya.
Di sela-sela waktu shalat dan menunggu waktu berbuka, adalah waktu yang tepat untuk merenung sejenak akan keadaan psikologi mana yang perlu ditata kembali dan dipertahankan. Seperti kemampuan menahan diri (self-control), tipe personaliti apa yang saya miliki, dan bagaimana personaliti itu mempengaruhi saya dalam mengambil setiap keputusan dalam hidup.
Kemampuan menahan diri adalah salah satu topik yang banyak diteliti oleh para psikolog di seluruh dunia. Puasa mengajarkan saya untuk meningkatkan kemampuan self-control. Dalam kondisi perut kosong dan pada saat bersamaan kita dilatih untuk mengkontrol pikiran dan keinginan yang dapat merusak kegiatan akademik maupun puasa saya. Tentunya sebuah perjuangan yang luar biasa bagi seorang manusia yang sarat dengan nafsu.
Banyak permasalahan di dunia barat, seperti alkohol, narkoba, pelecehan seksual, dan pemerkosaan, disebabkan karena ketidakmampuan menahan diri. Puasa adalah salah satu solusi untuk menurunkan permasalah sosial tersebut yang dimulai dari diri sendiri.
Pentingnya Niat
Berpuasa membuat saya sadar bahwa segalanya berawal dari gerak hati atau sering dikenal dengan niat (intention). Saya sangat mudah untuk terserang penyakit maag, jika saja saya terlambat makan (mungkin pembaca lain juga seperti itu).
Akan tetapi kondisi rasa sakit di lambung saya tidak muncul sama sekali semenjak awal ramadhan, walaupun saya menahan makan dan minum selama 19 jam. Letak perbedaan kondisi fisik ini terletak pada hulunya: niat. Yang satu tidak diniatkan puasa dan kondisi yang satu diniatkan puasa. Oleh karena itu memang benar bahwa segala sesuatu tergantung dari niatnya sebagaimana disebutkan di dalam hadist nabi.
Dalam penelitian bidang saya, psikologi syaraf (neuropsychology), ditemukan bahwa sebelum manusia melakukan sebuah perilaku atau ketika dalam kondisi masih berniat, otak sudah mempersiapkan dirinya dengan membentuk aliran listrik tertentu.
Berpuasa tanpa adanya rasa sakit sedikitpun di lambung saya, membuat saya semakin yakin terhadap penelitian tersebut sekaligus pada hadist nabi yang mengatakan bahwa segalanya tergantung pada niat. Cukup dengan niat berpuasa, maka otak pun membentuk jaringan sistem syaraf tertentu. Dan secara otomatis hal tersebut membentuk perubahan fisik yang dipersiapkan untuk menopang segala apa yang diniatkan.
Subhanallah. Dibalik panjangnya puasa di eropa yang saya jalani, Ramadhan mengajarkan saya untuk mengenal lebih dekat karakter diri saya sendiri. Ia juga membuat saya sadar akan arti pentingnya niat.
Pada akhirnya, berpuasa di bulan ramadhan sebagai sebuah training center ditujukan agar kita mengenal lebih baik Sang Khalik. Mengenal Allah dengan lebih baik akan menjadikan kita untuk mengenal diri lebih baik pula. Dan salah satu jalan perkenalan yang terbaik itu adalah dengan shaum, walaupun harus ditempuh selama 19 jam. Waalahu alam bil Muraddif (Ihshan Gumilar, Institute for Neuropsychology, Ghent University, Belgium)