Kisah Dai Abdurahman, Berpindah-pindah Demi Dakwah

Red: Dwi Murdaningsih

Rabu 24 Jun 2015 16:13 WIB

Abdurahman Noho Foto: BMH Abdurahman Noho

REPUBLIKA.CO.ID, MALUKU -- Suatu malam di akhir tahun 2005. Gelap malam sudah merambat kian pekat. Hujan turun dengan derasnya. Dingin. Lampu listrik mati pula. Suasana pesantren Hidayatullah di Desa Liang, Kecamatan Salahutu, Maluku Tengah terlihat sangat sepi. Rasa lelah memubuat satu keluarga tetap tertidur pulas, tidak memedulikan keadaan itu.

Keesokan harinya, ketika membersihkan kamar dan menata perabot rumah, alangkah terkejutnya dia. Ternyata tepat di bawah kasur di mana semalam mereka tidur ada ular besar bersemayan di sana. Itulah salah satu pengalaman “menarik” laki-laki bernama Abdurahman Noho bersama keluarga yang saat ia melakukan tugas dakwah di daratan Maluku.

Sebelum ia ikut berkecimpung di dunia dakwah bersama Hidayatullah, ia adalag seorang guru ngaji di sebuah Taman Pendidikan Al-Qur'an (TPA) di Manado. Ia mengenal Hidayatullah lewat seorang santriwati Hidayatullah bernama Rosita Panigoro. Pertemuan mereka pun berujung pada pernikahan.

Setelah mempunyai putra pertama, setahun kemudian lelaki lulusan IAIN  Alauddin tersebut memboyong keluarganya berangkat ke Gorontalo dan bergabung di Pesantren Hidayatullah Bumela, daerah tambang Paguyaman. Di sana ia sempat mengajar di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Desa Bumela. Kemudian tahun 2001 sampai 2005 ia ditugaskan ke Hidayatullah Manado dengan amanah sebagai Kepala Madrasah Aliyah dan juga juga sebagai Kepala Bidang Dakwah.

“Alhamdulillah, berkat pertolongan Allah, tugas di Manado berjalan dengan lancar,” ujar Rahman.

Kiprah dakwah itu terus belanjut. Ia bersama keluarga lalu ditugaskan ke Ambon tahun 2005. Saat itu diamanahi sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Hidayatullah Maluku yang berkedudukan di Ambon.

Awalnya, dia sempat keberatan karena merasa masih baru dan belum punya banyak pengalaman menjadi DPW. Namun setelah diskusikan dengan keluarga, akhirnya dengan modal ilmu pas-pasan dan keyakinan, mereka berangkat menuju Ambon.

"Jujur yang terbayang dalam benak saya di tempat baru ini adalah orang-orang yang keras, kasar dengan laras senapan yang akan siap menghalangi perjuangan kami dan mungkin syahid akan menanti kami di sana. Karena pada saat itu Ambon pascakonflik,” kata pria beranak empat tersebut.

Di Ambon inilah, pengalaman dakwahnya semakin menantang. Ia harus memulai dari nol merintis cabang Hidayatullah tersebut. Ia memulai dengan membuka pendidikan Taman Kanak-Kanak (TK) yang gedungnya beratapkan pohon ketapang dan berlantaikan tikar. Ia menceritakan, terkadang ular pun jatuh dari langit-langit atap pada saat belajar.

Apabila datang hujan, kamar tidur depan dan ruang tamu disulapnya menjadi kantor dan tempat proses belajar mengajar. Sore hari ruangan itu menjadi tempat mengajar Taman Pendidikan Al-Qur’an, malamnya digunakan untuk tidur keluarga mereka.

Tiga tahun setelahnya Rahman bersama keluatganya pun pindah ke kota Ambon menempati kantor sekertariat Hidayatullah yang baru saja dibuat. Sebulan kemudian dia memberanikan diri membuat pendidikan (sistem sekolah di rumah) untuk tingkatan sederajat dengan Taman Kanak Kanak. Dan, bernama Yaa-Bunayya Hidayatullah ini adalah yang pertama ada di Ambon kala itu.

Setelah hampir dua tahun keberadaan TPQ dan ini membuahkan hasil. Rata-rata anak-anak tamatan Homeschooling sudah bisa membaca dan menulis. Yang menarik, mereka mampu mengingat doa-doa dan hadits serta surah-surah dalam Qur’an. Selanjutnya, lelaki kelahiran Manado tersebut terus mencapkan “petualangan” dakwahnya ke Hidayatullah Bandar Lampung.

"Di lampung, memang tak sesulit di Ambon, namun tantangan barunya adalah kami harus berhadapan dengan orang-orang mapan yang notabene berpendidikan tinggi. Kami juga harus berhadapan dengan presepsi masyarakat saat itu yang lebih percaya kepada mereka yang bergelar tinggi. Akhirnya, kami pun mensiasati lewat traning Grand Mengajar dan Belajar Al-Qur'an (MBA) kepada kalangan ibu-ibu dan remaja, lama kelamaan mereka pun siap dan menerimah dakwah kami,” kenang pria kelahiran tahun 1972 itu.

Setelah bertugas selama tiga tahun di lampung, pada akhir 2013 ia beserta keluarganya di pindahtugaskan di Hidayatullah Bekasi, Jawa Barat hingga saat ini. Di Bekasi yang di kenal dengan markas para ulama, ternyata menyadarkan dirinya bahwa kapabilitas keilmuannya masih sangat kurang. Akhirnya, sambil menjalankan amanah sebagai Ketua Departemen Dakwah, setiap akhir pekan ia melanjutkan studinya di LIPIA Jakarta.

Terpopuler