REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Alkisah datang dari Negeri Irak. Di sebuah kota Damaskus yang saat itu sedang berkabung, atas meninggalkan pimpinan tertinggi mereka khalifah Sulaiman bin Abdul Malik. Namun, khalifah tidam meninggalkan begitu saja, ternyata dia sudah menuliskan wasiat sebagai pengganti kepemimpinannya, yaitu Umar bin Abdul Aziz.
Mendengar pengangkatan itu, lutut Umar terkulai lemas. Umar berkata, “Demi Allah, satu hal yang tidak pernah aku minta dan aku mohonkan dalam setiap doa-doaku adalah hal ini (diangkat menjadi khalifah).”
Pada saat itu juga, seluruh rakyat membaiat Umar bin Abdul Aziz menjadi khalifah. Kemudian setelah pembaiatan selesai, tiba saatnya Umar memberikan sambutannya. Namun apa yang terjadi, dalam pidatonya Umar justru mengundurkan diri.
“Saudara sekalian, saat ini aku batalkan pembaiatan. Pilihlah sendiri khalifah yang kalian inginkan selain aku,” kata Umar dalam pidatonya sesaat setelah pembaiatan.
Ketika tawaran itu disampaikan, rakyat justru membaiat Umar kembali. Akhirnya Umar menerima amanah tersebut setelah pembaiatan kedua. Kemuidan, Umar memberikan sambutan keduanya. “Aku bukanlah orang terbaik di antara kalian. Justru aku adalah rang yang memikul beban berat. Sesungguhnya, orang yang melarikan diri dari seorang pemimpin yang dzalim, dia buka orang dzalim. Ketahuilah, tidak ada ketaatan kepada makhluk apabila dia berada dalam kemaksiatan.”
Dimulailah masa pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Aziz, befbagai penyelewengan disikat habis olehnya. Tidak ada kesempatan buat pejabat yang korup, yang memanfaatkan jabatan untuk memperkaya diri. Hal ini benar-benar dimulai dari diri Umar sendiri.
Sebelum menjadi khalifah, Umar gemar memakai wangi-wangian dan apkaian sutra. Namun semenjak diangkat menjad khalifah, ia justru mengganti pakaiannya yang terbuat dari kain yang kasar. Perhiasan istrinya pun ia jual, dan uangnya ia masukkan dalam kas negara (baitul mal).
Suatu hari, istrinya mendapatkan hadiah sebuah kalung dari seorang raja negara lain. Lalu, Umar meminta istrinya untuk memberikan kalung tersebut pada baitul mal. Terang saja istrinya menolak, ia beralasan kalung adalah hadiah untuknya.
“Kau diberi hadiah karena kau istri khalifah. Kalau seandainya kau bukan siapa-siapa, tentu kau tidak akan mendapatkannya,” Umar mengingatkan istrinya.
Begitu juga pada suatu malam anaknya berkunjung ke kantor ayahnya. Maka Umar bertanya terlebih dahulu, “Kau datang untuk urusan negara atau urusan keluarga?”
Anaknya menjawab bahwa ia datang untuk urusan keluarga, seketika Umar pun mematikan penerang yang ada di dalam ruangannya. Menurut Umar, penerang yang disediakan itu memakai uang kas negara, sehingga harus dipakai untuk kepentingan negara saja.
Gaya kepeminpinan Umar bin Abdul Aziz diterapkan atas dasar alquran dan sunnah Rasul. Masa kepemimpinannya telah memberikan dampak positif pada negara. Dalam 2,5 tahun, seluruh rakyat merasakan kemakmuran kesejahteraan dan keamanan. Umar juga mengadakan kerjasama dengan para ulama besar pada zamannya, seperti Hasan al Basri (ahli hadits dan fiqih) dan Sulaiman bin Umar.
Umar berdialog dan meminta fatwa dari mereka tentang berbagai kebijaksanaannya. Mengajak mereka untuk mengajarkan rakyat tentang ilmu syariat, setia mengikuti perintah Allah SWT, dan menjauhi larangan-larangan-Nya.
Apa sebenarnya yang menyebabkan Umar sebegitu jujur dan adilnya menjadi seorang pemimpin? Umar takut, kelak jabatannya akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Begitu takutnya, Umar sampai menangis tersedu-sedu meminta ampun Allah SWT.
Fatimah bin Abdul Malik, istrinya pernah menemukan Umar sedang menangis di tempat solatnya. “Kenapa kau menangis wahai khalifah?” tanya Fatimah. “Wahai Fatimah, sesungguhnya aku memikul beban umat Nabi Muhammad SAW dari yang hitam hingga yang merah,” jawab Umar, kemudian melanjutkan kembali.
“Aku memikirkan persoalan orang-orang fakir dan kelaparan, orang-orang sakit dan tersia-siakan, orang-orang yang tak sanggup berpakaian dan orangorang yang tersisihkan, teraniaya, terintimidasi, yang tertawan dalam perbudakan, yang tua dan yang jompo, yang memiliki banyak kerabat namun hartanya sedikit, dan orang-orang yang serupa dengan itu di seluruh pelosok negeri.” kata Umar masih tersedu.
“Aku tahu dan aku sadar bahwa Rabb-ku kelak akan menanyakan hal ini di hari kiamat. Aku khawatir, saat itu aku tiak memiliki alasan yang kuat di hadapan Rabb-ku. Itulah yang membuatku menangis,” jelas Umar.