REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ada beragam tradisi memeriahkan dan menghidupkan Ramadhan di berbagai dunia Islam. Sebagiannya, atau nyaris keseluruhannya, memang belum pernah dicontohkan Rasulullah SAW. Tapi, tak jadi soal. Ini soal tradisi dan budaya yang berangkat dari kearifan lokal.
Unik, sekaligus mengundang ketertarikan lintas generasi. Tiap daerah memiliki tradisi masing-masing. Ikhtiar sederhana masyarakat lokal untuk memberi keistimewaan bulan suci itu. Salah satu tradisi klasik di Timur Tengah adalah membangunkan sahur. Di Indonesia, sejumlah daerah mengenalnya dengan grebek sahur.
Di Arab Saudi, pelakunya dijuluki az-zam zami, di Kuwait disebut Abu Thubailah, dan di Mesir akrab dikenal dengan al-muskhirati. Mereka memiliki gaya, media, dan yel-yel yang berbeda-beda sesuai dengan karakter lokal tiap-tiap negara. Liriknya, berisikan ajakan dan seruan bangun sahur.
Gubernur Mesir, Atabah bin Ishaq yang berkuasa di Mesir pada era pemerintahan Khalifah Dinasti Abbasiyah, Al-Munthashir Billah (861-862 M), disebut-sebut sebagai al-muskhirati pertama.
Ini karena pada 238 H, ia merasa terpanggil untuk berkeliling di Kota Kairo (Fustat lama) dan membangunkan penduduk untuk sahur. Ia melakukannya dengan berjalan kaki.
Tempat permulaannya berada di Kota Militer, dan berakhir di Masjid Amar bin Ash yang berlokasi di Kairo Lama, Fustat. Dan kini, profesi ini tak lagi menarik. Mulai tergeser dengan suara alarm, atau pekikan keras dari pengeras suara di masjid.