REPUBLIKA.CO.ID, Suatu hari, Nur Hadi mendengar teman lamanya berkisah tentang kondisi minimnya dakwah di daerah terpencil, di Kabupaten Halmahera. Kondisi ini diperparah dengan masih mengaratnya upacara adat istiadat yang jauh dari Islam. Yusuf Sunarko, teman Nur Hadi, adalah satu-satunya dai yang masih bertahan di tempat terpencil itu. Menurutnya, mencari dai dan guru mengaji yang bisa diajak berdakwah di wilayah itu, bak mencari jarum dalam tumpukan jerami.
Dengan pertimbangan matang, pada awal tahun 2011, Nur Hadi akhirnya memutuskan berangkat ke Halmahera. Tepatnya di Desa Soagimlaha Kecamatan Kota Maba Kabupaten Halmahera Timur Propinsi Maluku Utara (Malut). Dengan tekad yang bulat, alumni Sekolah Tinggi Agama Islam Luqman –Al-Hakim (STAIL), Surabaya ini akhirnya memenuhi panggilan dakwah. Ia ingin mengabdikan diri dan tenaganya untuk berjuang di jalan dakwah.
“Kepada ibu, saya bilang, semoga langkah ini bisa menjadi wasilah untuk menjadi anak yang sholeh, yang akan senantiasa mendoakan orangtuanya. Alhamdulillah, beliau mengikhlaskan keberangkatan saya,” ujar Nur Hadi.
Setiba di tempat yang dituju, pria asal Pemalang ini langsung memulai berdakwah. Pertama-tama yang dilakukannya adalah silaturrahim. Ia aktif berkunjung ke rumah-rumah warga. Ia menelusuri kampung dengan berjalan kaki. Bila berjumpa anak-anak yang sedang bermain di pantai, ia beri motivasi untuk ikut mengaji. Alhamdulillah, di antara mereka ada yang kepincut.
Hidup di Halmahera tidaklah mudah. Selain terpencil, biaya hidup juga tidak sedikit. Biaya hidup cukup tinggi. Sekedar beli nasi bungkus saja dengan lauk seadanya, harus merogok uang sebesar Rp. 15.000. Apalagi masakan yang sekidit enak, biayanya bias mencapai Rp 50.000 lebih. Pernah beberapa kali ia melewati hari-harinya tanpa adanya uang sepeser pun. Dalam kepayahan finansial macam ini, ia sering tergoda dan teganggu.
Namun ia masih selalu mengingat motivasi salah satu sahabatnya yang pernah mengatakan, “Akhi, ayam saja ketika dilepas mereka bisa cari makan sendiri, masa kita sebagai manusia yang punya akal tidak bisa hidup di alam yang bebas ini? Tak jarang, jika uang sudah tak mencukupi, ia mencari sayur atau daun-daunan di hutan untuk dimasak dan dimakan sekeluarga.
Selang dua bulan, dakwah mulai bisa diterima oleh masyarakat. Masjid kampung yang sebelumnya kosong dari aktivitas shalat dan sempat dilarang adzan Dhuhur dan Ashar, kini mulai diaktifkan. Dakwah Islam mulai menampakan ruhnya. Saat adzan dikumandangkan, para pemuda dan orangtua nampak berduyun-duyun datang ke masjid. Pengajian malam hari juga kembali diadakan.
Suasana desa itu kini telah nampak berbeda. Gemuruh riuh suara ngaji anak-anak yang memadati salah satu ruang dari kontrakan yang ditempati Nur Hadi, menjadi pemandangan baru yang menyejukkan mata. Mereka tidak hanya berasal dari desa sekitar, bahkan di antara mereka, rela menempuh jarak hingga lebih dari 3 KM, demi mengejar asa, bisa mengaji di bawah bimbingan Nur Hadi.
“Alhamdulillah, santri kita sudah mencapai 300-an anak,” kata Nur Hadi.
Berkat kedermawanan masyarakat, kini sudah ada bangunan wakaf 3 lokal kelas setengah papan dan bangunan masjid swadaya dari masyarakat untuk dimanfaatkan guna kelancaran dakwah Nur Hadi. Selain mengajar anak-anak mengaji, setiap Jumat, Nur Hadi harus keliling masjid kampung karena selalu diminta untuk khutbah Jumat. Hampir tiap Jumat ada jadwal di masjid-masjid kampung sekitar. Sedangkan untuk kegiatan bulanannya.
Ia kerap melakukan safari dakwah ke pulau-pulau atau kampung seberang. Medan menuju ke kampung-kampung tersebut sangatlah berat. Gunung, bukit yang curam, lautan dan bebatuan yang terjal, harus dilewati. Sering kali, pengendara sepeda motor terjungkir, karena melintasi medan yang berat itu.
Untuk memenuhi panggilan mengajar, Nur Hadi mengaku sangat kewalahan. Pernah, suatu saat ada kepala desa yang datang jauh dari kampung menyeberangi laut menuju kediamannya. Kepala desa berharap ada tenaga yang siap dikirim untuk mengajari ngaji anak-anak kampung di seberang. Kepala desa tidak kebaratan untuk mengusahakan rumah dan bisa hidup di sana.
Sayangnya, karena tenaga belum mencukupi, terpaksa permintaan itu harus bertepuk sebelah tangan. “Sejatinya para warga selalu berharap agar ada tenaga yang siap mengajar anak-anak mereka di sana,”, jelasnya.