Selama Ramadhan Kopi Arab tak Hanya Tersaji Sebagai Iftar

Rep: Bowo Pribadi/ Red: Indira Rezkisari

Ahad 21 Jun 2015 16:21 WIB

Secangkir kopi Foto: Republika/Agung Supriyanto Secangkir kopi

REPUBLIKA.CO.ID, Warga Semarang, tepatnya di daerah Kampung Melayu, memiliki kebiasaan unik untuk berbuka puasa. Disebut berbeda karena mereka lazim membatalkan puasanya dengan secangkir kopi. Kopinya juga bukan kopi biasa, melainkan Kopi Arab.

Kopi Arab yang disajikan warga di Masjid Menara Kampung Melayu, di Jalan Layur, Semarang, Jawa Tengah, memiliki citarasa yang unik dan khas. Karena minuman ini dibuat dari perpaduan kopi dengan beberapa jenis rempah.

Seperti jahe, serai, kapulaga, jinten, kayu manis, cengkeh, daun pandan dan daun jeruk. “Proses pembuatnya air dimasak hingga mendidih sebelum kopi ikut dimasak,” ungkap Rusli (38), warga setempat. Setelah itu, lanjutnya, berbagai campuran rempah dan bahan herbal yang memiliki khasiat untuk menyegarkan badan ini dimasukkan untuk ikut di masak bersama kopi yang telah mendidih.

Sebagai pelengkap ikut dihidangkan kurma serta kamir atau sejenis kue apem khas Arab. Hanya saja, di lingkungan Kampung Melayu saat ini tak ada lagi pembuat kue kamir. Sehingga kue tersebut tak lagi dihidangkan sebagai pembuka puasa bersama Kopi Arab ini.

Sebagai gantinya, acapkali disajikan kue pukis atau jenis kue lain serta gorengan. “Selain menyiapkan untuk para jamaah masjid, kami juga menyiapkan untuk para musafir,” tambah Rusli.

Kini setiap menjelang berbuka puasa, sedikitnya 50 cangkir Kopi Arab disediakan di Masjid Kampung Melayu. Biasanya para ulama setempat bersama warga berkumpul di dalam masjid sambil menunggu adzan. Setelah adzan berkumandang, ulama akan memimpin doa sebagai ungkapan rasa syukur karena telah mampu melaksanakan puasa sehari penuh, sebelum akhirnya bersama-sama meneguk kopi untuk berbuka.

Prosesi ini selanjutnya diakhiri dengan shalat maghrib berjamaah yang dipimpin imam Masjid Kampung Melayu. “Kebiasaan saat ini, Kopi Arab ini juga dinikmati usai shalat tarawih,” ungkap Salim (60), salah satu tokoh warga setempat.