Tunanetra Penghapal Alquran: ‘Saya tak Mau Dibangkitkan dalam Kedaaan Buta’

Rep: c13/ Red: Damanhuri Zuhri

Jumat 19 Jun 2015 21:14 WIB

Tunanetra penghafal Alquran, Ahmad Mustakim Foto: ROL/Fian Firatmaja Tunanetra penghafal Alquran, Ahmad Mustakim

REPUBLIKA.CO.ID, SERPONG -- “Saya tak mau dibangkitkan dalam keadaan buta,” ungkap Ahmad Mustakim polos kepada Republika beberapa waktu lalu.

Pernyataan tersebut merupakan salah satu motivasi laki-laki yang saat ini berusia 20 tahun untuk bisa mengenal Allah SWT, melalui menghapal Alquran.

Mustakim, begitu ia akrab disapa kawan-kawan sesama tunanetra di Yayasan Al-Makfufin, Serpong, Tangerang Selatan. Dia merupakan salah satu dari jutaan manusia yang tidak dilahirkan dalam kesempurnaan. 

Laki-laki yang ketika ditemui Republika berbaju kokoh dan peci putih ini tidak mengetahui betapa indahnya dunia ini sejak dilahirkan ke dunia. Namun kondisi ini tidak menjadikan Mustakim kufur akan nikmat dari Allah SWT.

Dalam perenungannya, Mustakim mengaku acapkali bertanya tentang kondisinya itu. Dia selalu penasaran bentuk dan wajah orangtuanya.

Pria yang berasal dari Indramayu ini ingin mengetahui benar seberapa indahnya bumi ciptaan Allah SWT ini. Pada saat itu, anak bungsu dari empat bersaudara ini selalu merasa sedih dengan keadaannya itu. “Tunanetra itu orang yang paling menyedihkan di dunia,” ucap Mustakim getir.

Tanpa mata, kata dia, orang sepertinya tidak bisa melihat wajah makhluk yang paling dicintai di dunia ini. Tanpa penglihatan, bekerja di tempat bergengsi pun tak mampu diraih. Menurutnya, orang-orang sepertinya hanya bisa bergantung pada manusia-manusia yang ada di sekitarnya.

Yuk berbagi pengalaman puasa. Kirim cerita pengalaman puasa beserta foto Anda ke [email protected]

Menyadari kondisi itu, Mustakim mengaku tidak ingin menjadi orang yang tak tahu diri atas pemberian dari Sang Maha Pencipta. Dia selalu mensyukuri setiap detik kehidupan dan nikmat yang diterimanya. 

Salah satu yang paling disyukuri Mustakim adalah keluarga. Terutama, kata dia, ibunda tercinta. Karena dari sosok itu, Mustakim bisa menjadi lebih dekat dengan Sang Pencipta. Dia bisa lebih mengenal Alquran melalui hapalan-hapalan dan pemahaman yang selama ini dimiliki.

Ia merupakan laki-laki yang berasal dari wilayah yang amat jauh dengan keramaian. Pusat-pusat kegiatan serupa sekolah, pesantren dan sebagainya amat sulit untuk dicari.

Bahkan, ungkap dia, suara azan hanya sayup-sayup terdengar di wilayahnya. Oleh sebab itu, perkenalannya terhadap agama amat dangkal.

Mustakim menyatakan, ibunya selalu merasa khawatir dengan keadaan demikian. Hingga akhirnya, kata dia, ibunda Mustakim pun mengatakan keinginannya untuk memasukkan Mustakim ke Pondok Pesantren.

Ketika mendengar permintaan itu, Mustakim mengaku sangat terkejut. Pasalnya, dia tidak ingin berpisah dengan keluarga jika harus nyantri.

 

 

 

 

Terpopuler