REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika Amirul Mukminin Umar bin Khatab memberhentikan Mu’awiyah dari jabatannya sebagai gubernur di Syam, ia mencari-cari orang yang tepat untuk menggantikan. Umar begitu hati-hati dalam soal ini.
Syam adalah sebuah provinsi besar sekaligus pusat perdagangan penting. Alhasil, dalam pandangan Umar, tidak ada yang tepat menjadi amir di sana selain seorang zuhud, ahli ibadah, dan orang saleh yang selalu mendekatkan diri pada Allah.
Pilihan Umar jatuh pada sosok Sa’id ibn ‘Amir. Namun, Sa’id menolak tawaran itu seraya berkata, “Janganlah kau bawa aku ke dalam fitnah, wahai Amirul Mukminin.”
Umar menjawab dengan keras, “Demi Allah, aku tidak akan membiarkanmu menolak. Apakah kalian suruh aku memikul amanah dan khilafah ini kemudian kalian tinggalkan aku begitu saja seorang diri?”
Sa’id pun memahami perkataan Umar dan menerima amanah itu. Ia kemudian pergi ke Homs, Syam (Suriah) ditemani istrinya yang jelita. Umar membekali keduanya dengan sejumlah uang yang cukup.
Sesampainya di Homs, istrinya mengusulkan untuk membeli pakaian yang layak, perhiasan, barang-barang rumah tangga, dan menyimpan sisa uang bekal dari Umar itu.
Sa’id lalu berkata, “Apakah engkau mau aku tunjukkan yang lebih baik dari itu? Kini kita berada di negeri perdagangan yang menjanjikan keuntungan, mari kita berikan uang ini kepada seseorang yang bisa memakainya untuk berdagang dan menumbuhkannya bagi kita.”
Istrinya sepakat. Said pun pergi membeli sedikit kebutuhan pokok untuk keperluan sehari-hari mereka. Setelah itu, ia bagikan semua uangnya kepada fakir miskin.
Hari demi hari berlalu, berkali-kali istri Sa’id mempertanyakan muara uang itu. Namun, Sa’id hanya menjawab jika perdagangan mereka lancar dan menguntungkan. Suatu kali, istri Sa’id menanyakan perihal uang itu di hadapan karib suaminya yang mengetahui hal sebenarnya.
Ia terus mendesak untuk menceritakannya dengan terus terang. Akhirnya, karib Sa’id itu menjawab, “Sa’id telah menyedekahkan seluruh hartanya sejak awal.” Demi mendengar jawaban itu, istrinya menangis. Harta telah lenyap tanpa ia sempat membelanjakan sepeser pun. Sa’id pun menentramkan hati istrinya dengan lemah lembut.
Sebagai seorang penguasa, Sa’id Ibn ‘Amir menerima gaji dan uang tunjangan yang besar. Namun, ia hanya mengambil sekadarnya lalu membagikan sisanya kepada fakir miskin. Hingga akhir hayatnya, tidak ada yang ia bawa selain sifat wara’, zuhud, takwa, serta kebesaran jiwa.