REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Namanya Abu Darda'. Ia adalah ahli hikmah yang besar di zamannya. Saat memeluk Islam dan berbaiat pada Rasulullah SAW, Abu Darda' adalah seorang saudagar kaya yang berhasil di antara para saudagar kota Madinah.
Sebelum memeluk Islam, ia telah menghabiskan sebagian besar umurnya dalam perniagaan, bahkan sampai Rasulullah dan kaum Muslimin lainnya hijrah ke Madinah. Tidak lama setelah memeluk Islam, kehidupannya berbalik arah.
''Aku tidak mengharamkan jual-beli. Hanya saja, aku pribadi lebih menyukai diriku termasuk dalam golongan orang yang perniagaan dan jual-beli itu tidak melalaikannya dari dzikir kepada Allah," ujarnya.
Abu Darda' sangat terkesan dengan firman Allah SWT yang tertera dalam surat Al Humazah ayat 1-4. ''Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela yang mengumpulkan harta dan menghitung-hitungnya. Dia mengira bahwa hartanya itu dapat mengekalkannya, sekali-kali tidak! Sesungguhnya dia benar-benar akan dilemparkan ke dalam Huthamah (neraka).''
Ia juga sangat terkesan sabda Rasulullah SAW, "Yang sedikit mencukupi, lebih baik daripada yang banyak namun merugikan."
Oleh sebab itu, Abu Darda kerap menangisi mereka yang jatuh menjadi tawanan harta kekayaan. "Ya Allah, aku berlindung kepada-Mu dari hati yang bercabang-cabang."
Orang-orang bertanya,''Apakah yang dimaksud dengan hati yang bercabang-cabang itu?"
"Memiliki harta benda di setiap lembah!" jawabnya.
Ia mengimbau manusia untuk memiliki dunia tanpa terikat padanya. Itulah cara pemilikan hakiki. Adapun keinginan hendak menguasainya secara serakah, takkan pernah ada kesudahannya. Maka, yang demikian adalah seburuk-buruk corak penghambaan diri.
Saat itu ia juga berkata,"Barangsiapa yang tidak pernah merasa puas terhadap dunia, maka tak ada dunia baginya."