Megibung Tiap Malam di 'Pulau Seribu Masjid'

Rep: Ahmad Baraas/Andi Nur Aminah/ Red: Didi Purwadi

Rabu 01 Jul 2015 01:07 WIB

Umat Islam berdoa sebelum menggelar tradisi Megibung (ilustrasi) Foto: Antara/Nyoman Budhiana Umat Islam berdoa sebelum menggelar tradisi Megibung (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM -- Warga Lombok, Nusa Tenggara Barat, punya tradisi dalam mengisi malam-malam Ramadhan. Mereka biasa makan bersama setiap usai melakukan tadarusan sehabis tarawih.

Tradisi yang dikenal dengan istilah megibung ini dulunya dipusatkan di masjid tertua desa. Seiring dengan bertambahnya jumlah penduduk di 'Pulau Seribu Masjid' dan terus berdirinya sejumlah mushala, setiap masjid dan mushala pun menggelar megibung sendiri-sendiri

Megibung merupakan tradisi masyarakat Lombok yang biasanya dilakukan sehari sebelum memasuki bulan Ramadhan. Begitu pula saat menjelang berakhirnya bulan suci ini.

Namun di beberapa desa dan masjid, kegiatan itu kemudian ditradisikan menjadi setiap malam selama bulan Ramadhan. Setiap selesai tadarusan, warga yang ada di masjid pun makan bersama sekaligus bersahur.

Saat megibung, warga akan akan duduk bersama dan makan dalam satu nampan, yang dalam bahasa Sasak disebut dulang. Satu nampan akan dihadapi bersama-sama oleh lima orang.

Zainuddin, pengamat sosial masyarakat Sasak, mengatakan makna megibung sangatlah dalam. Megibung, menurutnya, terutama dilihat dari aspek silaturahim dan keihlasan masyarakat untuk bersedekah dengan menyediakan makanan untuk megibung setiap malam.

Megibung sudah dilakukan secara turun-temurun. Hal yang berubah soal jam makannya saja.Kalau sebelum-sebelumnya megibung dilakukan sekitar pukul 02.00 WITA atau pada dini hari, kini mulainya pukul 24.00 WITA. Waktu tadarusannya yang diperpendek, hanya sampai pukul 12 malam.

Perbedaan lainnya, dahulu megibung melibatkan hampir seluruh warga desa di satu masjid. Namun, kini sudah terbagi-bagi di beberapa tempat dan umumnya diramaikan oleh kalangan remaja yang memang aktif bertadarus di masjid.

Dahulu isi nampan adalah hasil olahan masyarakat sendiri. Isinya nasi dengan beragam lauk pauk, seperti sayur-sayuran, ikan, ayam, daging, dan makanan khas Lombok lainnya. Namun, kini makanannya kebanyakan dipesan di warung.

Selain itu, soal berkurangnya waktu tadarusan, bukan berarti bacaan Alqurannya dikurangi. Karena jumlah bacaannya sama saja, yakni satu malam sampai enam juz.

Teknis membacanya, sekali membaca ada dua sampai tiga kelompok dan juz yang dibaca setiap kelompok yang berbeda.

Ia mengatakan, tadarusan diakhiri lebih awal karena ingin menghormati warga yang beragama non-Muslim agar mereka tidak terganggu istirahatnya.

Terpopuler