REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON -- Lazimnya muazin yang mengumandangkan azan di masjid hanya satu orang, tidak demikian dengan Masjid Sang Cipta Rasa. "Di Masjid Sang Cipta Rasa jumlah orang yang mengumandangkan azan total ada tujuh orang, mereka semua mengumandangkan azan secara bersama-sama dan berdiri berjajar-jajar," ucap pengelola Masjid Sang Cipta Rasa Mahfud.
"Tradisi itu biasa kami sebut dengan azan pitu, kata 'pitu' adalah serapan dari bahasa sunda atau jawa yang bererti tujuh, tradisi azan pitu telah kami lakukan sejak awal penggunaan masjid Sang Cipta Rasa dan tetap kami laksanakan hingga saat ini," ucapnya.
Mahfud menjelaskan bahwa azan pitu merupakan ketentuan yang ditentukan oleh Sunan Gunung Jati. Ia menjelaskan bahwa pada awal penggunaan masjid tersebut terdapat tiga muazin yang meninggal setelah mengumandangkan adzan di masjid tersebut.
Menurut kepercayaan masyarakat saat itu ketiga muazin tersebut meninggal karena dampak dari ilmu hitam yang dilakukan oleh pihak yang tidak senang dengan persebaran agama Islam di Cirebon pada saat itu. "Menanggapi hal tersebut kemudian Sunan Gunung Jati mendapat saran dari Sunan Kalijaga yang merupakan arsitek masjid tersebut untuk menambah jumlah muazin di masjid karya Sunan Kalijaga," ucap Mahfud.
"Sunan Kalijaga beranggapan bahwa jika muazin ditambah menjadi tujuh orang maka ilmu hitam tersebut dapat ditangkal, hal tersebut kemudian disetujui oleh Sunan Gunung Jati dan kemudian langsung diterapkan," ucapnya.
"Setalah azan pitu diterapkan ternyata ketujuh muazin tersebut berhasil tetap hidup dan terhindar dari ilmu hitam tersebut, mulai saat itu tradisi azan pitu tetap dilaksanakan hingga saat ini," ucap Mahfud.
Ia juga menjelaskan bahwa saat itu azan pitu diterapkan disetiap lima waktu shalat setiap harinya, namun saat ini tradisi 'azan berjamaah' tersebut hanya dilakukan saat azan shalat Jumat.