Kunutan, Makan Ketupat demi Persaudaraan

Rep: Sonia Fitri/ Red: Chairul Akhmad

Kamis 24 Jul 2014 16:48 WIB

Pedagang merangkai janur kelapa menjadi ketupat. Foto: Republika/Aditya Pradana Putra/ca Pedagang merangkai janur kelapa menjadi ketupat.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Umumnya, masyarakat mulai membuat ketupat sehari sebelum Lebaran tiba. Tapi, bagi masyarakat Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu, pembuatan ketupat sudah lazim dilakukan sejak hari ke-15 Ramadhan.

Tradisi ini salah satu cara unik dalam mempererat silaturahim antarmasyarakat saat Ramadhan. Pembuatan ketupat saat pertengahan Ramadhan ini dikenal dengan istilah kunutan.

Secara rutin, warga membuat ketupat pada hari ke-15 Ramadhan. Kaum ibu membuat ketupat di rumahnya masing-masing. Setelah shalat Tarawih, mereka akan berkumpul sambil membawa ketupat dan memakannya secara berjamaah.

''Kadang-kadang, ada juga kelompok warga yang melakukan iuran, lalu membuat ketupat secara kolektif,'' kata Wiwit Supriati (31 tahun), warga Pulau Pramuka. Ketupat itu kemudian dimakan bersama warga yang jumlahnya lebih banyak lagi. Makan ketupat biasanya dibarengi dengan makan sayur kentang yang dimasak dengan kuah santan.

Warga lainnya, Ibrahim (41 tahun), salah seorang pengelola Madrasah Diniyah Hajja Kalsum Pulau Pramuka menjelaskan, tradisi kunutan telah ada sejak ia kecil.

Menurut cerita leluhurnya, kunutan merupakan sebuah doa dan hikmah dari qunut yang bertujuan menaruh harapan kepada Allah dalam menolak bahaya atau mendatangkan kebaikan di masyarakat.

Namun, kata Ibrahim, tradisi-tradisi keislaman di masyarakat kini semakin terkikis dari tahun ke tahun. Salah satunya yang mulai terkikis adalah tradisi tadarusan pada anak-ana, Dahulu, Ibrahim mengatakan, tradisi anak-anak yang melakukan tadarus Alquran pada Ramadhan ketika Maghrib menjelang selalu dilaksanakan. Bahkan, sering kali anak-anak tadarusan sampai makan sahur tiba.

Namun, saat ini tradisi tersebut sudah hilang. Karena, sejak era 2000-an banyak orang datang ke pulau, sebagai wisatawan atau membangun tempat tinggal. Teknologi komunikasi juga memengaruhi pengikisan tradisi ini.

Ia mengatakan, penanaman akidah Islam tidak dilakukan secara turun-temurun. Pelaksanaan tradisi mengaji Alquran, menurutnya, memang bagus, tapi rentan ditinggalkan. Pasalnya, mengaji tidak dibarengi pemahaman terhadap kandungan dan akhlak Alquran.

Makanya, keberadaan Madrasah Diniyah di Pulau Pramuka betul-betul ia manfaatkan untuk menanamkan nilai-nilai keislaman pada generasi muda. Ia mengatakan, Madrasah tersebut didirikan sejak 1980.

Sampai saat ini, madrasah terus menjalankan pendidikan nonformalnya untuk menjaga keutuhan nilai-nilai agama pada generasi muda di Pulau Pramuka. ''Terutama, dalam membaca dan memahami Alquran,'' katanya. 

Terpopuler