Menuju Kegembiraan (2-habis)

Rep: c78/ Red: Damanhuri Zuhri

Kamis 24 Jul 2014 16:32 WIB

 Warga saling memaafkan dan berjabat tangan usai mengikuti Shalat Idul Fitri di pelataran jalan Pasar Senen, Jakarta Pusat, Kamis (8/8).  (Republika/ Yasin Habibi) Warga saling memaafkan dan berjabat tangan usai mengikuti Shalat Idul Fitri di pelataran jalan Pasar Senen, Jakarta Pusat, Kamis (8/8). (Republika/ Yasin Habibi)

REPUBLIKA.CO.ID,

Mudik menunjukkan masyarakat menjaga pentingnya silaturahim.

Menjelang Lebaran, masyarakat beramai-ramai mudik. Tak hanya Muslim yang melakukannya, tetapi juga non-Muslim.

Muchlis M Hanafi mengatakan, mudik sekadar bernuansa religius, melainkan juga memiliki nilai sosial, budaya, ekonomi, bahkan politik.

Mudik ini ada yang menyebutnya sebagai mudiknomics Indonesia. Maksudnya, ekonomi di daerah menggeliat dengan mengalirnya uang ke daerah-daerah di Tanah Air lewat kegiatan mudik.

Paling tidak, Muchlis Hanafi mengungkapkan, tak kurang dari angka Rp 50 triliun uang mengalir ke daerah selama kegiatan mudik.

Analisis dari Pusat Data Kemiskinan Dompet Dhuafa menunjukkan potensi aliran uang mudik dari kota ke desa atau dari kota ke kota pada tahun lalu mencapai Rp 90,08 triliun.

Dengan dana sebesar itu, jelas dewan pakar Pusat Studi Alquran (PSQ) Jakarta ini, dalam jangka panjang ekonomi di daerah-daerah seharusnya meningkat.

Ia menambahkan, terlepas dari aspek agama yang memerintahkan manusia menjaga silaturahim, muncul kebahagiaan tersendiri bagi para pemudik ketika bisa berbagi bersama keluarga dan sanak kerabat di kampung halaman. “Ini menunjukkan semangat berbagi.”

Sayangnya, ia melanjutkan, kondisi tersebut masih terlihat hanya bersifat jangka pendek. Kebanyakan pemudik cenderung menghabiskan dana untuk hal-hal yang bersifat konsumtif, seperti transportasi, rekreasi, makan, dan belanja bersama keluarga.

Padahal, besarnya aliran dana mudik seharusnya dapat dimanfaatkan untuk berinvestasi di kampung halaman ketimbang menghabiskannya dalam waktu beberapa hari saja tanpa dampak lanjutan. Pemerintah bisa membantu membuat pola pemberdayaan produktif.

Nasaruddin Umar menambahkan, banyaknya pemudik menegaskan masyarakat Indonesia masih menjaga pentingnya silaturahim.

“Ini fenomena positif, warga yang merantau kembali mendinginkan otak dengan bernostalgia, menengok setiap lekuk kampung halaman.”

Dari sanalah, katanya, diharapkan tumbuh kepekaan sosial dalam bentuk kepedulian kepada saudara-saudaranya yang masih kekurangan harta.

Terpopuler