Pudarnya Semangat Ramadhan di Komunitas Arab (2-habis)

Rep: Ani Nursalikah/ Red: Chairul Akhmad

Kamis 17 Jul 2014 13:43 WIB

Kaum Muslim menunggu saat berbuka puasa di Masjid Sultan Turki bin Abdullah di Riyadh, Arab Saudi. Foto: Reuters Kaum Muslim menunggu saat berbuka puasa di Masjid Sultan Turki bin Abdullah di Riyadh, Arab Saudi.

REPUBLIKA.CO.ID, Seharusnya Ramadhan menjadi bulan pembaruan dan kebangkitan spiritual. Masyarakat harus menjadikan Ramadhan kesempatan untuk bertobat.

Sayangnya, kesempatan ini dilewatkan begitu saja karena terlalu sibuk terlibat hal-hal materi yang tidak berhubungan dengan semangat Ramadhan.

Ulama terkemuka, Ahmad al-Qubaisi, mengungkapkan, sebagian besar masyarakat lebih memfokuskan diri pada makanan. Sementara, kaum perempuan menghabiskan banyak waktunya untuk memasak dibandingkan beribadah. Materialisme dan konsumerisme telah mendominasi masyarakat masa kini.

Ahmad Ali al-Haddad, dosen di bidang arbitrase internasional, mengatakan, banyak perubahan positif dan negatif dalam masyarakat Uni Emirat Arab karena perkembangan ekonomi, termasuk ketika Ramadhan.

"Tidak diragukan lagi terjadi penurunan tradisi dan kebiasaan karena pertumbuhan ekonomi dan tekanan kehidupan yang mengubah keyakinan tradisional. Konsekuensinya, hal ini memengaruhi atmosfer Ramadhan," kata dia.

Kebiasaan pada masa lalu, sepanjang Ramadhan sebagian besar keluarga, kerabat, dan tetangga duduk melingkari makanan di lantai. Tetapi, sekarang mereka jarang melakukannya.

Penyebaran teknologi komunikasi, seperti telepon pintar dan media sosial, berkontribusi mengurangi pertemuan secara fisik. Masyarakat kini lebih memilih mengirim pesan singkat dibandingkan berkunjung dan merayakan Ramadhan bersama.

Al-Haddad meyakini masyarakat Uni Emirat Arab terpengaruh tradisi dan kebiasaan ekspatriat yang tinggal di sana. Dia menambahkan, tidak masalah bagaimana masyarakat mengartikan transformasi baru Ramadhan, namun Muslim harus tetap bisa menyeimbangkan antara spiritualitas dan urusan materi.

Terpopuler