REPUBLIKA.CO.ID, DUBAI -- Ulama meyakini pertumbuhan ekonomi, perubahan gaya hidup dan perkembangan teknologi justru menjauhkan Muslim dari esensi spiritual Ramadhan. Padahal Ramadhan, bulan spesial bagi Muslim, bulan untuk berdoa, beribadah dan ketaatan.
Selama bulan suci ini, Muslim di seluruh dunia diharapkan memperbaiki aspek individual dan spiritual dirinya untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, dalam 10 tahun terakhir, banyak kalangan menilai tradisi dan ritual Ramadhan telah digantikan dengan tren terbaru yang sisi spiritualnya kurang.
Di masa lalu, masyarakat menyambut datangnya Ramadhan dengan tradisi khusus dan lagu yang menciptakan atmosfer kesenangan yang unik. Kini, atmosfer itu berubah.
Umat Islam lebih memilih merayakan bulan suci dengan mengunjungi kafe shisha, berbuka puasa bersama, berbelanja di mall dan menonton sinetron di televisi. Bahkan lentera warna-warni yang digunakan untuk menghias jalanan dan rumah-rumah di komunitas Muslim telah lama hilang.
Berbagai hal tersebut menimbulkan pertanyaan apakah esensi ibadah Ramadhan telah hilang. Ulama terkemuka Ahmad Al Qubaisi menyatakan hilangnya semangat Ramadhan disebabkan faktor sosial, politik, ekonomi, materi dan psikologi, dan konsumerisme yang meningkat. Dia percaya secara umum semangat berpuasa telah hilang sama sekali di komunitas Arab.
"Ramadhan adalah bulan dimana tersedia berbagai pilihan bagi Muslim untuk menyucikan jiwa mereka. Namun, kini Ramadhan telah menjadi bulan yang tidak beda dengan rutinitas harian. Alih-alih mendekatkan diri kepada Tuhan dengan beribadah, masyarakat justru mengonsumsi makanan dalam jumlah besar, menghabiskan berjam-jam menonton program Ramadhan dan tidur setelah fajar," ujar Al Qubaisi, dikutip dari Gulf News, Selasa (15/7).
Dia mengatakan seharusnya Ramadhan menjadi bulan pembaruan dan kebangkitan spiritual. Menurutnya, masyarakat harus menjadikan bulan Ramadhan kesempatan untuk bertobat, sayangnya kesempatan ini dilewatkan begitu saja karena terlalu sibuk terlibat hal-hal materi yang tidak berhubungan dengan semangat Ramadhan.
Al Qubaisi mengatakan masyarakat sebagian besar memfokuskan diri pada makanan. Sementara itu, kaum perempuan justru menghabiskan banyak waktu memasak dibandingkan beribadah. Dia menambahkan materialisme dan konsumerisme telah mendominasi masyarakat masa kini.
Dosen dan penengah perselisihan politik Ahmad Ali Al Haddad mengatakan banyak perubahan positif dan negatif dalam masyarakat Emirat karena perkembangan ekonomi, termasuk saat Ramadhan. "Tidak diragukan lagi terjadi penurunan tradisi dan kebiasaan karena pertumbuhan ekonomi dan tekanan kehidupan yang mengubah keyakinan tradisional. Konsekuensinya, hal ini mempengaruhi atmosfer Ramadhan," kata dia.
Kebiasaan di masa lalu, sepanjang Ramadhan sebagian besar keluarga, kerabat dan tetangga duduk melingkari makanan di lantai. Tetapi sekarang mereka jarang melakukannya. Penyebaran teknologi komunikasi, seperti telepon pintar dan media sosial berkontribusi mengurangi pertemuan secara fisik. Masyarakat kini lebih memilih mengirim pesan singkat dibandingkan berkunjung dan merayakan Ramadhan bersama.
Al Haddad meyakini masyarakat Uni Emirat Arab terpengaruh tradisi dan kebiasaan ekspatriat yang tinggal di sana. Dia menambahkan tidak masalah bagaimana masyarakat mengartikan transformasi baru Ramadhan, Muslim harus bisa menyeimbangkan antara spiritualitas dan ritual materi. n gulf news/ani nursalikah