Ramadhan di Batas Negeri

Red: Agung Sasongko

Senin 14 Jul 2014 23:30 WIB

Rutinitas di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur. Foto: Antara Rutinitas di Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Kalimantan Timur.

REPUBLIKA.CO.ID, SEBATIK -- Es Jelly, roti John adalah makanan khas Malaysia yang sangat akrab denganku. Tahu setelah menginjakkan kaki di Pulau Sebatik, tujuh bulan yang lalu. Menjadi relawan Sekolah Guru Indonesia-Dompet Dhuafa jadi lembaran baru dalam perjalanan hidupku.

Pulau Sebatik, Kalimantan Utara adalah salah satu daerah di Indonesia yang berbatasan langsung dengan negara tetangga, negeri Jiran. Tidak heran jika di Sebatik sangat mudah ditemui penganan khas Malaysia.

Tidak hanya soal penganan Malaysia yang mudah kita temui di Sebatik. Kebutuhan pangan, sandang semua disuplay dari Tawau,Malaysia. Itulah sebabnya, mata uang yang  berlaku di Sebatik khususnya Kecamatan Sebatik Tengah ada dua yaitu Rupiah dan Ringgit.

Pulau Sebatik memang masuk wilayah Kalimantan. Namun, di Sebatik sangat susah menemukan jajanan atau makanan khas Kalimantan. Di Pulau Sebatik, perpaduan dua suku yaitu Bugis-Makassar dan Melayu-Malaysia lebih kental terasa.

Perpaduan dua budaya itu juga terasa di bulan Ramadhan. Menu takjil sangat didominasi oleh kekhasan kedua suku tersebut. Hal ini juga dipengaruhi karena di Sebatik kebanyakan masyarakatnya adalah perantauan Bugis-Makassar, maka takjil, makanan  yang banyak kita temui di Sebatik adalah kue khas Bugis-Makassar. Tidak ketinggalan penganan khas Malaysia.

Ramadhan terasa begitu berbeda. Bukan hanya karena bulan Ramadhan adalah bulan yang suci lagi berkah nan agung. Tetapi terlebih dalam kondisi menjalankan tugas sebagai Relawan Sekolah Guru Indonesia-Dompet Dhuafa. Mengabdi di batas negeri. Bagiku, menjadi perjalanan spiritual yang tak biasa.

Setidaknya ada dua perayaan yang bertepatan dengan bulan suci, Ramadhan tahun ini. Yang pertama adalah memaknai perjalanan Dompet Dhuafa selama 21 tahun. Yang kedua adalah pesta demokrasi pemilihan presiden Republik Indonesia.

Keduanya secara institusi atau pun lembaga tentu berbeda.

Dompet Dhuafa adalah lembaga sosial penyalur zakat di Indonesia. Sedangkan pesta demokrasi tentu kita paham betul dilaksanakan untuk memilih yang bakal menahkodai Indonesia selama 5 tahun ke depan. Namun, jika kita cermati kedua perayaan itu memiliki asa yang sama ingin Indonesia yang lebih baik.

Inilah catatan singkat perjalananku menjadi relawan SGI-DD. Memaknai Dompet Dhuafa di usia 21 tahun.

Ada Yang Berbeda Tertanggal 2 Juli Hari Ini.

Berbeda Memaknai Perjalanan Hidup.

Berbeda Setelah Menjadi Relawan Sekolah Guru Indonesia.

Pemaknaanku Tentang Dompet Dhuafa

Tak Lagi Sekadar Lembaga Penyalur Zakat.

Tetapi Tentang Komitmen Lembaga Sosial

Yang Ikut Andil Membangun Peradaban Bangsa.

Bukan Hanya Bekal Intelektual,

Tetapi Lebih Pada Bekal Spiritual

Menjadikan Anak Bangsa Kaya Hati

Untuk Terus Menebar Manfaat Pada Sesama.

Bagi Saya, Sekolah Guru Indonesia-Dompet Dhuafa Adalah Hidayah.

Perjalanan Spiritual Yang Mengajarkan Untuk Selalu Memaknai

 Apa, Dimana, Seberapa Banyak Hal Yang Kita Lakukan Dalam Hidup Ini.

Muaranya Hanya Satu. Kembali Kepada Sang Khaliq.

Bukankah Hal Yang Diingini Setiap Insan Adalah Kebahagiaan?

Bagiku, Bahagia Memilih Pekerjaan Yang Dalam Menjalaninya

Selalu Mengantar Kita Untuk Refleksi Diri.

Tak Henti Bersyukur Atas Nikmat Yang Allah Berikan.

Alarm Rasa Syukur,

Kutemukan Dalam Perjalanan

Menjadi Relawan Sekolah Guru Indonesia-Dompet Dhuafa.

Semoga Semakin Banyak Anak Bangsa

Yang Merasakan Perjalanan Spiritual

Di Yayasan Sosial Dompet Dhuafa.

#Milad Dompet Dhuafa Yang Ke-21

*Siti Dwi Arini (Relawan SGI-DD Angkt.V)

Ramadhan tahun ini adalah ajang refleksi buat saya khususnya dan masyarakat Indonesia pada umumnya. Memilih pemimpin untuk Indonesia. Dompet Dhuafa juga di usia 21 tahun, terus melebarkan sayap untuk berbagi manfaat pada masyarakat Indonesia disegala penjuru. Seiring keputusanku menjadi relawan SGI-DD untuk ikut andil dalam perubahan pendidikan di bumi pertiwi, Indonesia.

Ramadhan di tanah rantau berjuta rasanya. Kita harus menyesuaikan dengan tradisi masyarakat setempat. Sahur dan berbuka puasa tidak bersama keluarga adalah konsekuensi yang harus diterima. Menjadi relawan harus siap dengan segala keadaan yang tidak sesuai kebiasaan kita. Termasuk kebiasaan di bulan Ramadhan yang tak biasa.

Ramadhan di batas negeri tentu menjadi pengalaman dan cerita tersendiri. Bagiku ini berkah dari Allah. Menyaksikan perpaduan beberapa budaya yang unik. Melihat realita Indonesia yang sebenarnya. Hidup boleh di perbatasan. Tetapi kecintaan pada negeri tak pernah ada batasnya. Dimana pun tempat bermukim, sejatinya mengajarkan banyak hikmah jika kita menjalaninya dengan sepenuh hati.

Penulis:

Siti Dwi Arini Putrianti

Guru SDN 006 Sebatik Tengah, Relawan Sekolah Guru Indonesia-Dompet Dhuafa Angkt.V

Terpopuler