Jaburan, Jamuan Penghidup Malam Ramadhan (1)

Red: Chairul Akhmad

Jumat 11 Jul 2014 18:43 WIB

Tradisi jaburan di Jawa Tengah. Foto: Hadiyanta.com Tradisi jaburan di Jawa Tengah.

Oleh: Hannan Putra

Jamuan makan malam ini diberikan bagi mereka yang ingin melanjutkan ibadah selepas Tarawih dengan shalat sunah dan tilawah.

Saum (puasa) pada siang hari dan qiyam (mendirikan ibadah) pada malam hari merupakan dua hal yang berkaitan dan tak terpisahkan. Puasa dan qiyam dijalankan tanpa dipilih atau dibeda-bedakan.

Keduanya ditekankan dalam lafal hadis yang kalimatnya serupa pula. Hadis puasa menyebutkan, “Barangsiapa berpuasa Ramadhan karena iman dan perhitungan, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari Muslim).

Sementara, hadis qiyam mengatakan, “Barangsiapa mendirikan malam Ramadhan karena iman dan perhitungan, niscaya diampuni dosa-dosanya yang telah lalu.” (HR Bukhari Muslim).

Namun, pada kenyataannya, umat Islam kadang fokus pada puasa saja, sedangkan qiyam dipandang sebelah mata. Seperti contoh, banyak masyarakat yang menyelenggarakan hidangan takjil (berbuka) untuk mereka yang berpuasa. Tapi, adakah yang menyelenggarakan hidangan makanan untuk mereka yang qiyam pada malam hari?

Berpijak dari pemikiran inilah, sebuah tradisi Jaburan muncul di adat-istiadat Jawa. Jaburan adalah jamuan makan malam bagi jamaah setelah selesai shalat Tarawih. Jamuan makan malam ini diberikan bagi mereka yang ingin melanjutkan ibadah selepas Tarawih dengan shalat sunah dan tilawah. Mereka juga diberikan jamuan layaknya berpuasa pada siang hari.

Tradisi ini menyiratkan makna, orang yang puasa dan qiyam harus dimuliakan dengan diberikan hidangan makan. Takjil untuk orang yang puasa dan jaburan untuk orang yang qiyam. Keduanya penghormatan dalam bentuk hidangan makanan.

Tradisi Jaburan ada di masyarakat Jawa sejak beberapa puluh tahun lalu. Walau tradisi ini tidak lagi populer di tanah Jawa, beberapa tempat masih terus eksis mempertahankan tradisi ini.

Beberapa tempat di Kota Semarang, seperti di Kelurahan Bulu Lor Kecamatan Semarang Utara, Salatiga, Surakarta, hingga Yogyakarta, masih mempertahankan tradisi ini. Tapi, tentu saja kian lama jumlahnya berkurang.