Jasa Penukaran Uang, Bisnis Halal yang Bersyarat

Rep: c69/ Red: Damanhuri Zuhri

Jumat 11 Jul 2014 05:20 WIB

Petugas melayani penukaran mata uang di jasa penukaran uang, Jakarta, Rabu (18/6). Foto: Republika/ Wihdan Petugas melayani penukaran mata uang di jasa penukaran uang, Jakarta, Rabu (18/6).

REPUBLIKA.CO.ID, -- Mendekati hari Raya Idul Fitri 1435 H, mulai banyak penjual jasa penukaran uang di pinggir jalan. Di Kota Bandung, sejumlah orang yang berjajar di pinggir Jalan Braga dengan mengulurkan uang pecahan.

Uang pecahan yang mereka bawa terdiri dari nominal Rp 1.000, Rp 2.000, dan Rp 5.000. Asep salah seorang penjual jasa penukaran uang pecahan baru, menyebut pekerjaannya itu dengan istilah berjualan uang.

Untuk menjalankan bisnisnya itu, dia pun mengeluarkan modal antara Rp 1 juta hingga Rp 2 juta.  Dia tidak pernah mematok harga untuk jasa yang ditawarkan. Namun, atas jasanya itu dia mendapat bayaran dari pembelinya antara Rp 10 ribu hingga Rp 20 ribu.

Usahanya semakin ramai sepekan sebelum lebaran. Saat itu masyarakat yang bekerja baru saja menerima THR. Selama bulan puasa ini, dia mengaku, bisa mendapat untung bersih lebih dari Rp 10 juta.

Asep mengaku dengan usaha berjualan uang dengan mayoritas pembeli menukar pecahan nominal Rp 5.000,dia mendapatkan untung yang lumayan. “Biar bisa buat lebaran aja sih neng,” ujar buruh bangunan ini.

Ustaz Muhammad Yani dari bidang dakwah YPM Salman ITB melihat fenomena ini melalui kaca mata hukum Islam sebagai sebuah transaksi yang halal. Namun, hal itu, masih harus memperhatikan unsur-unsur lainnya.

Dia menjelaskan, hukum transaksi dalam Islam harus berasaskan kerelaan dan rukun jual beli. “Halal dan tidaknya, berdasarkan hukum dagang yang berasaskan hukum Islam,'' jelas Ustaz Muhammad Yani.

Transaksi jual beli, kata dia, syaratnya satu, yaitu ridha. Selain itu, ada juga unsur yang ditambahkan. Katanya, unsur itu mengatur muamalah-nya, yaitu jangan ada pihak yang dirugikan.

Dalam konteks usaha jasa penukaran uang, terdapat perbedaan pendapat mengenai kehalalannya. Kalangan ulama syafiiah menilai usaha ini sebagai riba.

Dinilai, riba karena terjadi pertukaran dua barang sejenis dengan memberikan tambahan pada salah satunya. Mazhab ini mengatakan pertukaran satu jenis barang tidak boleh ada perbedaan.

Namun, Yani menjelaskan selain mazhab Syafii, penambahan nilai ini dianggap halal. Dengan asumsi penambahan nilai dianggap sebagai jasa yang memudahkan si pencari jasa.

Nilai tambah ini diposisikan sebagi upah kepada penjual jasa, karena dalam hal ini bersedia membantu menukarkan uang.

Sang Ustadz mengatakan untuk amannya masyarakat memang sebaiknya melakukan penukaran uang dengan datang langsung ke bank. Bank tidak memungut biaya sepeser pun untuk jasa penukaran uang.

Terpopuler